Title: TEME, AYO
KITA MAKAN RAMEN
Fandom: NARUTO
Disclaimer:
Masashi Kishimoto
Pairing: SasuNaru
Rating: T
“TEEEEMMMMMEEEEEE........!!!!!!”
Cih! Suara itu lagi. Cempreng dan memekakan telinga. Sudah
pasti itu Si Dobe, Naruto.
“hn.” Tanggapku malas. Aku memang benar-benar malas kalau
harus berhubungan dengan makhluk satu ini. Sudah kebiasaan, sepulang sekolah
dia pasti menggangguku. Walau bagaimanapun caraku untuk mempercepat langkahku,
dia pasti bisa mengejarku.
“Teme...! Ayo kita makan ramen!” teriaknya lagi saat sudah brada
di sampingku. Cih! Lagi-lagi ajakan itu. Harus berapa kali aku katakan pada Si
Dobe satu ini kalau aku tidak suka ramen.
“aku tidak mau.” Jawabku ketus.
“Teme, sekali saja...” dia mulai memasang puppieyes, wajah
memelas anak kucing tercebur got yang minta di pungut. Ku hela napas
dalam-dalam beberapa kali.
“Pokoknya tidak mau.
Aku sudah bilang aku tidak suka ramen’kan, Naruto? Pergilah, jangan
ganggu aku. “ langkahku kupercepat untuk segera meninggalkan tempat itu. Tak seperti
biasa, kali ini dia tak mengejarku seperti hari-hari sebelumnya. Apakah dua
minggu tak bertemu dia jadi tak tertarik lagi untuk merengek-rengek seharian
hanya untuk memintaku menemaninya ke kedai Ichiraku untuk makan makanan yang di
sebut ‘RAMEN’? Tapi baguslah kalau memang begitu. Hari ini aku akan tenang
tanpa gangguan si maniak itu.
“TEEMEEE...! SASUKE TEME PANTAT AYAM JELEK...!! KAU AKAN MENYESAL NANTIII...!!!”
Teriakan itu tak kuhiraukan. Siapa juga yang akan menyesal
kalau tidak diganggu barang satu hari saja. Yang ada, orang malah akan
bersyukur jauh darimu Naruto.
...o.o.o...
Bruk! Kulemparkan begitu saja tas
selempangku ke atas ranjang, kemudian aku ikut membanting diri di kasur yang
empuk itu. Lelah sekali. Hari ini terlalu banyak tugas dari guru yang harus ku
kerjakan, ditambah pelajaran olahraga tidak elite dengan guru yang kelewat
semangat, Guy Sensei. Ketahuilah bahwa olahraga itu bukan sesuatu yang aku
sukai. Lain halnya kalau dengan Naruto, pelajaran yang paling di kuasai adalah
olahraga dan selalu berbanding terbalik dengan pelajaran yang lain. Cih! Dasar
Dobe.
Tapi, kenapa dia tadi tak masuk sekolah? Malah
dengan polosnya, sepulang sekolah tadi dia mencegatku dan menggangguku seperti
biasa? Hn. Kenapa di saat lelah begini dengan kurang kerjaan aku memikirkan
dia? Ah, sudahlah.
Ceklek! Suara pintu dibuka.
“My Otoutou...” suara yang dibuat merdu
tapi terdengar mengerikan di telingaku, sudah pasti, Baka Aniki.
“Keluar..” ucapku ketus sebelum aku
menutup kepalaku dengan bantal.
“Otoutou, ayo makan dulu.” Ku
rasakan jemari tangan halus memegang
pergelangan kakiku dan tubuhku tertarik.
“che! Baka Aniki jangan sentuh
aku..!!” teriakku sembari berusaha melepaskan diriku. Tapi apa daya, tubuhku
sudah digendongnya bagaikan karung beras menuju ruang makan. Sungguh tidak
elite untuk pemuda 17 tahun sepertiku. Aarrgghh.. kenapa Tuhan memberiku kakak
seperti dia..?!!!
“Otoutou, teriakanmu merdu sekali..”
seru baka Aniki setelah menurunkanku di dekat meja makan di mana sudah tersedia
makan siangku di sana.
“Kalau kau lakukan lagi akan kubunuh
kau!!!” teriakku lagi entah untuk kesekian kalinya dalam hidupku untuk
menjauhkanku dari Aniki penderita kelainan jiwa ini, Dan untuk entah kesekian
kalinya juga dia tidak menggubris ancamanku. Che! Dasar Baka Aniki! Dia sama
saja dengan Naruto.
“Ah, aku tidak dengar apa-apa
Otoutou..” dan begitulah lagi-lagi jawaban yang dilontarkanya sambil tersenyum
lembut. Bisa kurasakan kedutan di kepalaku yang menyerupai perempatan jalan
muncul. Ya Tuhan, selamatkan aku dari kegilaan ini.
...o.o.o...
Piiing..! Suara nada pesan
berkali-kali berbunyi dari ponselku yang tergeletak di atas tempat tidur. Aku
tak berminat untuk melihat apa isinya, apalagi dari pesannya yang datang
bertubi-tubi sudah dapat kupastikan itu dari Sakura, Saudara sepupu Naruto yang
sama berisiknya dengan Naruto sendiri. Dan sama malasnya aku untuk meladeni
manusia satu itu. Kulanjutkan lagi acara membacaku yang sempat tertunda
gara-gara SMS. Tapi tak lama kemudian nada dering panggilan melantun merdu.
Dengan amat sangat tak berminat ku beranjak dari meja belajarku untuk melihat
siapa yang menelpon. Ck! Sakura. Yang benar saja? Dasar wanita keras kepala.
Sudah cukup hari ini aku berurusan dengan manusia merepotkan. Kulemparkan lagi
ponsel yang masih berdering itu ke ranjang, kunikmati alunan lagu klasik
kesukaanku itu, kemudian entah mengapa aku jadi tertarik untuk memperhatikan langit malam yang mendung dari
balik jendela kamarku. Sudah sejak dua minggu lalu langit selalu berwarna
kelabu, tapi hujan tak kunjung turun.
Hn, aneh.
“TEEMMMEEEEE.....!!!!!”
Ya Tuhan, teriakan itu lagi. Serasa
pecah gendang telingaku mendengarnya. Dan seperti biasa, pemiliknya adalah
Naruto. Si pirang itu ada di luar pagar rumahku. Tangannya dengan semangat ia
lambai-lambaikan utuk menyapaku yang ada di lantai atas. Sebuah cengiran
khasnya tersungging di bibirnya. Entah kenapa aku lihat ada yang beda dari Si
Dobe itu hari ini. Kenapa dia terlihat begitu manis?
“Temee... turunlah, ayo kita
jalan-jalan..!” teriak Naruto lalu nyengir lagi. Kalau kupikir-pikir,
jalan-jalan ada bagusnya juga. Karena itulah aku langsung menyambar baju
hangatku dan bergegas turun.
“Otoutou, kau mau kemana..?” tanya Aniki dengan heran, tapi hanya kubalas
deathglare ku secara Cuma-Cuma.
“YIIHHAAA...!!!” seru Naruto dengan
girangnya saat aku sudah sampai di dekatnya.
“Ck! Berisik!” ketusku
mendiamkannya.
“Hm, dasar Teme!” Naruto mulai memasang ekspresi ngambeknya.
Tangannya terlipat di dada, pipinya menggembung dan tidak lupa bibirnya yang
mengerucut, tampak lucu dan menggemaskan. Hanya itulah ekspresi Naruto yang
paling kusukai. Dia memang manis sekali kalau sedang ngambek.
“Kau benar-benar kurang kerjaan ya, Dobe?
Mengajakku jalan-jalan di hari yang akan hujan begini, aku tidak akan
memaafkanmu kalau aku sampai kehujanan dan sakit.” Ujarku datar.
“Hmm, itu bukan salahku Teme, memang
siapa yang menyuruhmu hujan-hujanan? Kalau hari hujan, kita’kan bisa berteduh
Teme. Begitu saja kau tidak tahu, katanya kau jenius?” ucap Naruto.
“Che!” aku mulai berjalan pergi
dengan kedua tanganku berada di kantung baju hangatku. Udara agak dingin dan
aku juga tidak suka itu. Naruto berjalan santai di sampingku, kedua tangannya
ia tautkan di tengkuknya, dan senyum tak henti-hentinya terulas di bibirnya.
Kami terdiam hingga beberapa jauh kami berjalan menyusuri trotoar.
“Teme, ayo kita makan ramen.”
Akhirnya ia memulai pembicaraan yang dengan telak membuatku menghentikan
jalanku. Hah, ajakan itu lagi. Mau sampai kapan dia berusaha membawaku ke kedai
ramen dan mengajakku makan makanan yang aku bahkan jijik melihatnya. Ku hela
napas dalam-dalam.
“Sudah kubilang aku tidak mau..”
jawabku lirih.
“Kenapa tidak mau sih..?”
“Aku tidak suka ramen.”
“Teme,.. sekali saja aku ingin melihatmu
makan ramen bersamaku.” Naruto mulai merengek lagi. Kulanjutkan langkahku dan
ia mengikutinya dengan gontai.
“Kalau tidak mau ya tidak mau.
Jangan keras kepala, mau sampai kapanpun aku tidak akan sudi makan makanan
itu.”
“Haaahh... Dasar Teme! Padahal ramen
itukan enak. Kenapa tidak mau?!”
Kulihat ia memberantakan rambut pirangnya.
Senyum tipis tak sengaja terulas di bibirku. Hari ini aku merasa aneh. Rasanya
hatiku nyaman berada di dekat si Dobe. Apa itu karna ia tidak berteriak dengan
suara cemprengnya? Ah, kurasa bukan tidak, tapi belum. Kami berhenti di
perempatan jalan. Dari sini aku bisa lihat sebuah kedai makanan manis.
“Lebih baik kau mengajakku ke tempat
yang menjual makanan manis. Aku tidak akan menolak walau tidak kau ajak..”
godaku yang dibalas cibiran dari bibirnya yang imut. Dia diam saja dalam
sejenak. Dan aku lebih memilih mengedarkan pandanganku untuk menikmati suasana
sekelilingku. Aku baru sadar kalau ada sebuah bangku taman tak jauh dari
tempatku berdiri. Sekilas aku bisa melihat pasangan muda mudi berbisik-bisik
dan memandangku dengan tatapan aneh dan langsung dienyahkan saat pandanganku
turtuju pada mereka. Hal itu membuatku berpikir, apa yang aneh dariku? Apa aku
memakai baju hangatku secara terbalik? Ah, tapi aku yakin sudah memakainya
dengan benar. Apakah ada noda memalukan di wajahku? Aku tak pernah memeriksa
apa yang salah dengan tubuhku, tapi masih banyak apa-apa lain yang muncul di
kepalaku.
“Teme, lebih baik kita pulang saja,
aku rasa hujan benar-benar akan turun” kata Naruto yang sukses membuyarkan
banyak pertanyaan di kepalaku. Kurasakan memang ada rintik-rintik air mengenai
tanganku.
“Hn. Sepertinya begitu..”
...o.o.o...
Kriiiiiiiiiing! Kriiiiiiiiiing! Bel
pulang akhirnya berbunyi juga. Seisi kelas riuh karena senangnya. Huufhhtt..
hari ini rasanya hambar. Kenapa? Aku juga tidak tahu. Apa kerena teriakan si
Dobe yang hari ini tidak mengganggu telingaku? Mungkin saja. Karena hari ini ia
tidak masuk sekolah lagi. Batal sudah keinginanku untuk melihat langit cerah di matanya. Sungguh aku
sudah bosan dengan langit yang masih berwarna abu-abu. Padahal semalam hujan turun
dengan amat derasnya. Ck. Apa jangan-jangan Naruto kahujanan saat perjalanan
pulang dari rumahku dan si Dobe itu jatuh sakit? Hn, apa benar dia bisa sakit?
Drrrrt drrrrt drrrt. Ada geteran di
kantongku. Mungkin ada pesan atau telepon yang masuk di ponselku. Dan benar
saja, ada sekitar 15 SMS yang masuk, dan
pengirimnya sudah pasti, Haruno Sakura. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh
gadis itu dariku? Lagi-lagi pesannya ku abaikan. Hn. Pesan darinya sudah
benar-benar menumpuk sekarang karena tak ada satu pun pesan darinya yang sudah
kuhapus. Tapi sungguh aku tak berminat untuk membacanya.
Tapi, kenapa tak ada satu pun SMS
yang berasal dari Naruto? Aku mendengus karena tiba-tiba merindukanya. Kenapa
akhir-akhir ini aku jadi begini. Rasanya, baru dua hari ini aku sadar kalau aku
nyaman dan suka berada di sampingnya. Hmm, akan kutemui dia nanti. Kalau aku
punya waktu.
“TEEMMMEEEE.....!!!!!!”
Hn, raungan itu lagi. Suaranya
seakan menggema di lorong sempit ini, jalan pintasku menuju rumah dengan tanpa
harus berkutat dengan keramaian yang tidak aku sukai. Aku berbalik dan
menemukan Naruto yang terengah-engah,
mengatur napasnya.
“Hn?”
“Ayo kita makan ramen, Temee..!”
“Ck! Itu lagi..”
“Ayolah Teme, sekali saja..”
“tidak, terima kasih..”
“huuuufffhhhtt... kenapa selalu
menolak sih, Teme? Kau benar-benar tidak mau mewujudkan keinginanku yang satu
ini, ya? Sungguh-sungguh tidak mau?”
“Hn.”
“sungguh-sungguh? Yakin, Teme?”
“Hn.”
“walaupun seandainya ini hari
terakhirku hidup,Teme?”
“Hn,”
“HUH! JAHAT KAU TEME..!!! DASAR TEMEE PANTAT AYAM JELEEEEEKKK....” teriak Naruto sejadinya. Telingaku bahkan sampai mengeluarkan bunyi ‘nging’ yang mengganggu.
“HUH! JAHAT KAU TEME..!!! DASAR TEMEE PANTAT AYAM JELEEEEEKKK....” teriak Naruto sejadinya. Telingaku bahkan sampai mengeluarkan bunyi ‘nging’ yang mengganggu.
“Naruto, sungguh kau itu manis
sekali kalau saja tak berteriak dan
hampir membuatku tuli begini.” Ucapku tanpa sadar. Eh? Apa barusan yang
kukatakan? Ah, aku mulai tak waras. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan hal
itu?
“Ehehehe, Teme, kau juga manis..”
cengiran lima jari tersungging di bibir Naruto yang sempat ngambek sebentar, memamerkan barisan gigi-giginya
yang teratur rapi.
“Hn.”
“Huuffhh.. kau tetap tidak mau makan
ramen denganku, Teme? Sungguh kau tidak menyesal?” entah mengapa kali ini
Naruto terdengar serius, tapi sungguh aku ingin sekali berteriak kalau ‘aku
tidak mau makan ramen’, kalau saja aku tidak ingat image ku sebagai orang yang
dingin dan dikatakan cool oleh banyak gadis-gadis.
“Baiklah! Kalau begitu aku akan
makan sendiri saja! Ehehe..” sebuah cengiran kembali terulas sesaat sebelum
Naruto berlari meninggalkanku sendirian di lorong itu. Sebuah lambaian tangan
yang penuh semangat ditujukan padaku sebelum ia menghilang di balik pagar. Ah,
sial. Aku lupa menanyakan perihal kenapa ia tidak masuk sekolah hari ini,
padahal ia terlihat sehat-sehat saja. Ah, senyumnya membuatku lupa segalanya.
Drrrrt drrrrt drrrt.. Kembali ku
rasakan getaran di kantongku. Apa lagi sekarang? Jangan bilang kalau ini dari
Sakura. Di layar ponselku terpampang dengan jelas nama Haruno Sakura. Ahh,
baiklah aku menyerah. Entah apa sebenarnya yang diinginkanya, aku akan
menyuruhnya berhenti menghubungiku lewat apapun juga. Aku sudah muak dengan
pesannya yang menumpuk jauh lebih banyak dari koleksi buku rancangan Leonardo
Da Vinchi milikku. Dengan berat hati ku tempelkan ponselku ke telinga,
“Hn.” Dua kata faforitku yang
pertama terucap dengan malas.
“Hiks, Sasake-kun.. “ kudengar suara
Sakura seperti terisak. Apa yang salah?
“apa?”
“Kenapa kau baru menjawab
teleponku..?”
“Aku sibuk..”
“Sasuke-kun.. hiks hiks.. Naruto..”
suara Sakura tertahan, tapi sayub-sayub aku menagkap suara isak tangis.
“Kenapa kau Sakura? Ada apa memangnya
dengan Naruto..?”
“Naruto...Hiks hiks.. Naruto sudah
meninggal Sasuke-kun...”
Aku terdiam mendengar candaan ini.
Hhh.. mana mungkin Naruto sudah meninggal padahal kami baru saja bersama. Kalau
mau mengerjaiku, kau harus berpikir
ratusan kali Sakura.
“Apa? Ini sungguh tidak lucu
Sakura.. Aku tutup saja teleponnya..”
“Sasuke-kun...!! Aku tidak sedang bercanda,..!
Naruto benar-banar sudah meninggal! Kenapa kau menganggapku bergurau?
Sasuke-kun?”
“BAGAIMANA AKU TIDAK MENGANGGAPMU BERGURAU KALAU NARUTO BARU
SAJA BERADA DI SINI...!!!!” teriakku sekeras-kerasnya pada ponselku. Aku
benar-benar kesal dengan gurauan Sakura yang melibatkan kematian seseorang,
apalagi itu Naruto, orang yang jelas-jelas beberapa menit lalu berteriak
padaku. Kuputus sambungan telepon itu. Dadaku sesak karena marah. Aku menyesal
sudah menerima telepon dari Sakura. Telepon yang rasanya aku ingin menghajar
Sakura karena mengatakan kebohongan yang amat sangat tidak lucu.
Drrrt drrrt drrrt.. apalagi
sekarang?! Aku nyaris berteriak karena ponselku kembali berbunyi. Kali ini
telepon dari Aniki. Mau apa dia?
“Hn,”
“Otoutou-chan, ayo cepat pulang.
Kita harus ke rumah sakit. Aku baru mendapat kabar dari My Danna kalau adik
sepupunya baru saja meninggal. Dia temanmu, bukan?”
Telepon langsung kututup. Aku tidak
mau mendengar kebohongan lagi. Sepupu dari orang yang dipanggil ‘my Danna’ oleh
Baka Aniki dan adalah temanku, itu adalah Naruto. Tidak! Tidak mungkin! Ini
tidak mungkin! Mereka pasti sudah berkomplot untuk mengerjaiku! Ya! Ini hanya
lelucon! Mataku memanas, hampir saja air mataku jatuh karena sebab yang tak
kuketahui.
Drrrt drrrt drrrt.. Ponselku kembali
berbunyi, kali ini ada pesan dari Neji.
“Dengan menyesal aku kabarkan berita duka
ini kepada seluruh teman-teman kelas di bawah kepemimpinanku, bahwa salah satu
dari teman kita yang bernama Uzumaki Naruto, hari ini telah menutup kisah
hidupnya. ...”
Tak sanggup aku membaca
kelanjutan kalimat dari pesan Neji. Hatiku terlanjur sakit. Ini benar-benar
tidak masuk akal. Aku berlari sekencang
yang aku bisa, tidak peduli pada air mataku yang tidak bisa kubendung
lagi menuju Ichiraku Ramen, kedai langganan Naruto. Bukankah Naruto tadi bilang
ia ingin makan ramen? Semua orang juga tahu, Naruto pasti akan makan ramen
hanya di Ichiraku Ramen.
“Naruto..!!” panggilku saat tanganku
berhasil menyibak tirai setengah tiang yang menjadi pembatas kedai kecil itu.
Aku tak bisa menemukan Naruto. Yang kutemukan hanya pandangan heran dari
beberapa orang yang sedang makan dan dari Paman Teuchi, pemilik kedai.
“Naruto.. Paman, apakah Naruto
tadi ada di sini..?!” tanyaku dengan tidak sabaran. Lelaki setengah baya itu
terdiam sejenak. Wajahnya menyiratkan kesedihan.
“Tabahkan hatimu, Sasuke..
Sesakit apapun rasa kehilanganmu. Relakan kepergian Naruto..” ujar paman Teuchi
lembut. Eku tertegun. Tidak percaya.
“AAAAARRRRGGGHHHH......!!!!!!”
......o.o.o......
Langkah ini, bukan.. Aku
sedang berlari. Tapi lariku serasa di awang-awang. Aku mati rasa. Semuanya
rasanya hampa. Yang masih kurasakan adalah rasa sakit kehilangan orang yang
tersayang.. Di sini, di perasaanku yang baru saja hancur berkeping-keping.
“Naruto..” satu nama yang saat
ini paling ku ingat. Satu nama yang masih ku panggil, tidak perduli pemiliknya
masih bisa mendengarnya atau tidak. Tapi, aku harap masih. Agar aku pun bisa
mengutarakan perasaanku padanya selama ini. Aku harap semua kejadian hari ini
hanyalah kebohongan. Hanya sebuah rencana pintar untuk mengerjaiku. Ya, ini
rencana yang pintar untuk membuatku terlihat bodoh di depan semua orang. Akan kuhajar kau
nanti Naruto!
Langkahku terhenti di sebuah
lorong, pandangan mata orang-orang yang ada di sana tertuju padaku. Pandangan
mata kasihan. Aku benci pandangan itu!
“Sasuke-kun...?” Sakura yang
terisak di sana memenggil namaku. Wajahnya memerah seperti orang yang habis
menangis. Sapu tangan putihnya ia genggam hingga tak berbentuk lagi. Aku diam.
Kutatap bibi Kushina dengan tatapan berharap kalau ini semua tidak terjadi.
’ Naruto, ia belum mati’kan?’
Melihatku seperti orang bodoh, ia langsung
memelukku, terisak di pundakku, air matanya kurasakan mengalir di pundakku.
Sekarang aku merasa dingin.
Air mataku tak bisa lagi mengalir dari mataku. Aku masih percaya kalau Naruto
masih baik-baik saja. Sampai kulihat ranjang dorong keluar dari ruangan yang
disebut ICU. Sesuatu tergeletak di sana, di balik kain putih. Kulepaskan
pelukan bibi Kushina dariku untuk menghampiri benda itu. Kulihat helaian rambut
pirang menyembul dari balik kain.
‘ Benarkah itu kau Naruto?
Saat kubuka kain penutup ini, langsunglah berteriak padaku, Naruto, lihatlah
wajah bodohku ini. Kau berhasil mengerjaiku, Naruto.’
Kuhela napas dalam-dalam. Memantapkan mentalku
yang sedari tadi hilang. Kutarik kain putih itu pelan-pelan. Dan terlihatlah
wajah yang sama sekali tak pernah kulupakan. Ini benar-benar Naruto. Tapi,
kenapa kau diam saja Naruto? Kenapa kau tidak segera bangun?
Wajah kusut nan pucat milik
Naruto kusentuh. Wajah yang sungguh aku baru melihatnya tersenyum dengan
cerahnya. Sungguh, baru beberapa menit lalu. Tapi, kenapa sekarang sudah
dingin? Benarkah kau sudah mati, Naruto?
“ Naruto.. Cepat bangun! ini
tidak lucu..” ucapku datar. Naruto tetap diam.
“Sasuke-kun, Naruto sudah...”
“TIDAAAK!!! NARUTO! KAU BARU
SAJA MENGAJAKKU MAKAN RAMEN’KAN? LALU KENAPA SEKARANG KAU SUDAH TERGELETAK
DISINI..?!!” aku berteriak sejadinya. Sungguh aku tidak ingin percaya hal ini,
tidak mau!
“Naruto cepat bangun..!! cepat
banguun..!” kugoyang –goyangkan tubuh Naruto berharap ia akan bangun, tapi ia
tetap diam. “Apa kau pikir aku akan makan ramen dengan cara seperti ini Naruto,
kau salah!! Ini tidak lucu! Cepatlah bangun dan ayo kita makan ramen. Ajak aku
makan ramen, Naruto! Kali ini aku tidak akan menolak, NARUTOOO!!!!”
“Hentikan Sasuke, Naruto sudah
tiada..” ucap Sasori-nii sembari memegangiku karena aku yang semakin beringas
menggoyang-goyangkan tubuh dingin Naruto.
“TIIIDAAKKK....!!! INI
BOHONG!!”
Bajuku, aku remas bajuku
karena rasa sakit yang rasanya mau meledakkan dadaku. Tenggorokanku sakit
akibat tangisku yang ku tahan. Tidak, sudah tidak lagi. Aku menagis sejadinya,
histeris yang sungguh aku tak pernah membayangkan akan terjadi padaku.
“NARUTOOO...!!!”
.....o.o.o....
“kenapa kau tak memberitahuku,
Sakura..?” ucapku datar. Pemakaman Naruto baru saja usai. Para pelayat sudah
pulang. Hanya tinggal aku dan Sakura di sana, di samping makam Naruto. Sakura
menoleh padaku heran. Sungguh aku merasa bodoh ditatap seperti itu. Sejenak ia
diam, kemudian menghapus air matanya yang kembali membasahi pipinya.
“Aku sudah berusaha,
Sasuke-kun.. Tapi aku kira kaulah yang tak merespon semua pemberitahuan
dariku.. aku tidak tahu kalau kau benar-benar membenciku hingga tak satu pun
pesanku yang kau buka, atau pun panggilanku yang kau jawab.”
“Sakura..?”
“Semua pesan dari dua minggu
terakhir yang kukirimkan, semuanya tentang keadaan Naruto. Aku kira kau sibuk.”
“Sial..”
“Naruto, dia sudah berusaha ingin
memberitahumu tentang kondisinya yang memprihatinkan itu, Sasuke-kun. Tapi dia
takut kau akan menjauhinya.. Dia takut kau khawatir, apalagi saat itu kau
sedang ikut olimpiade’kan, Sasuke-kun.. dia tidak mau karena khawatir kau jadi
tidak fokus.”
“Cih! Bagaimana Dobe bisa
menyembunyikan sakit itu dariku selama bertahun-tahun? Sakit separah itu dan
aku tak pernah tahu. “
“Sasuke-kun..?”
“Kangker paru-paru sialan!”
.....o.o.o....
“TEMMEEE...!! Ayo kita makan
ramen..!!” aku tersenyum tipis. Senyum menyedihkan ini. Senyum yang hanya bisa
ku ulas karena rekaman gambar Naruto semasa hidupnya. Rekaman dari suara
terakhir Naruto sebelum jatuh koma. Gerakan terakhirnya dengan tubuh ringkihnya
itu. Cengiran terakhir sebelum ia tak bisa nyengir lagi.
“TEMMEE JELEEKKK...!!! Kenapa
kau tidak menjengukku di Rumah Sakit Temee..? Harusnya kau datang dengan ramen
porsi besar, Teme! Lalu kita makan sama-sama!” teriakan Naruto yang memekakkan
telinga sebelum ia tidak bisa berteriak lagi.
“Teme, maaf aku tidak memberitahumu
dari awal soal penyakitku. Hm.. Aku tidak perduli walau kau marah, tapi... Aku
ingin makan ramen bersamamu Teme. Ehehe, sebelum aku tidak bisa makan ramen
kesukaanku lagi. Cepatlah datang Teme, aku menunggumu di rumah sakit!!”
Air mataku mengalir membentuk
sungai di pipi pucatku.
“Teme pantat ayam jelek! Aku
akan menghajarmu kalau kau tidak datang! Setelah keluar dari rumah sakit, aku
akan memaksamu makan ramen bersamakuu!! Aku akan memaksamu makan hingga kau
tidak bisa bergerak dua hari..!”
Sebuah ekspresi ngambek yang
kini aku rindukan. Naruto, kini hanya bisa ku pandang di layar ponselku. Dan
itu, hanya sebuah rekaman.
Ku letakkan semangkuk ramen
porsi besar di atas gundukan tanah pusara, di mana jasad Naruto tertidur di
sana. Kemudian aku duduk di sampingnya, dengan berat hati aku menyesap kuah
ramen milikku sendiri.
“Cih! Naruto, Dobe.. sudah
kubilang aku tidak suka ramen..” omelku pada angin yang berhembus lembut. Harum
tanah pemakaman yang semalam terguyur hujan menyapa hidungku. Dan kulanjutkan
acara makanku, kemudian aku mengomel lagi. Begitu seterusnya setiap satu
suapan.
“Aku sudah bilang, aku tidak
suka ramen, Dobe..”
Aku teisak. Menyesali
perbuatan bodohku. Andai saja aku menanggapi semua pesan dari Sakura, aku tidak
akan merasa hina seperti ini. Andai saja aku menjawab telepon darinya yang
sesungguhnya dengan baik hati ingin mengabarkan keadaanmu, Naruto, andai saja
aku paham apa yang dibisikkan muda-mudi di jalan itu, yang menganggapku aneh
karena bicara sendiri saat arwahmu datang kepadaku, Naruto. Kau yang mengajaku
makan ramen. Maaf aku tidak bisa mewujudkan keinginan terahirmu, tidak
mewujudkannya saat kau masih hidup. Dan sekarang saat kau telah tiada, ini
semua sudah terlambat’kan, Naruto? Aku sungguh-sungguh minta maaf, Naruto. Maaf...
“Naruto.. Aku merindukanmu..
Ajaklah aku makan ramen lagi, Naruto..”
TAMAT
Penulis: Shiryu Ayres
Tidak ada komentar:
Posting Komentar