Fandom:
NARUTO
Disclaimer:
MASASHI KISHIMOTO
Rating:
T
o
o
o
o
Salju turun bulan itu, Konoha menjadi tampak seperti sebuah
cake yang penuh dengan taburan gula halus. Itu dikarenakan salju turun dengan
deras tadi malam. Oh, warga kota kecil itu harus bekerja ekstra berat kali ini.
Ya, ini adalah hujan salju terparah musim ini. Begitu parahnya sehingga membuat
tuan pembenci segala hal ini badmood di setiap waktu. Pemuda yang memiliki mata
hitam kelam itu sedang duduk di beranda samping rumahnya, memperhatikan beberapa
orang pekerja yang berusaha memebersihkan halamannya dari tumpukan salju yang
menggunung. Sesungguhnya itu bukan tontonan yang menarik bagi tuan muda Uchiha
itu, tapi hanya itulah yang ingin dia lakukan saat ini, setelah perjalanan
panjangnya dari kota pengasingannya. Entah kenapa pemuda pemilik gaya rambut
khas EMO yang mencuat-cuat melawan gravitasi itu menyebut kota tempatnya tumbuh
besar dan bersekolah selama hampir 15
tahun adalah kota pengasingan. Hmm, sudah kubilang dia’kan tuan pembenci segala
hal. Ya, dan kali ini yang dia benci adalah diseret dari kota pengasingannya
yang selalu hangat karena tak pernah turun salju ke kota kelahirannya, Konoha,
yang sedang mengalami musim dingin terburuk tahun ini.
“Kau ingin mati kedinginan? Kau tak memakai baju hangat yang
Nii-san berikan?” seorang pemuda yang baru saja muncul dari balik pintu
mengagetkanya. Pemuda Uchiha yang bernama lengkap Uchiha Sasuke itu terdiam
sejenak. Lalu bergumam dengan dua huruf favoritnya “Hn”. Kakaknya juga bukan
pembicara yang baik kalau berhadapan dengan mahluk berkulit pucat seputih salju
itu. Mereka jarang bercakap, bertemu saja mungkin hanya setahun sekali kalau
Itachi punya waktu untuk pergi ke Ottogakure.
Sebuah syal biru tua
akhirnya melingkar di leher Sasuke yang jujur saja dari tadi sudah
menjerit-jerit kedinginan di dalam hatinya.
“Masuklah,..” hanya ucapan singkat itu yang keluar dari
mulut Itachi sebelum ia kembali menghilang di balik pintu. Sasuke mendengus
kesal. Ia benci sikap kakaknya yang seperti itu.
~.^...oOo....oOo...^.~
“NARUTOOO...!!!” sebuah teriakan super keras yang bisa
membuat telinga mengeluarkan bunyi ‘ngiing’sukses membuat seorang pemuda yang
asyik tertidur langsung jatuh terjungkal dari ranjangnya. Dengan tidak elite tentunya.
“Mau sampai kapan kamu tidur terus Naruto?! Ayo cepat bangun
dan bantu ayahmu memebersihkan tumpukan salju di luar!” sekali lagi wanita
bersurai merah sepinggang itu berteriak dengan nada tinggi membangunkan anaknya
yang masih mau malas-malasan di hari
yang dingin itu.
“Kaa-san biarkan aku tidur lima menit lagi..” kata pemuda
pirang yang masih setengah mati menahan kantuknya. Ia mengelus-elus jidatnya
yang terasa sakit setelah jatuh terjungkal dari tempat tidurnya. Tidak memperhatikan
bahwa ibunya sudah mengeluarkan aura membunuh yang sangat mengerikan.
“Baik, tidurlah lima menit lagi,” Kata wanita yang
sebenarnya bernama Kushina itu. Pemuda pirang yang masih setia duduk di lantai
itu langsung sumringah dan berdiri.
“Benar..?” tanya pemuda itu dengan wajah ceria. Mata birunya
berbinar-binar.
“TAPI JANGAN HARAP KAU BISA MAKAN RAMEN LAGI SEUMUR HIDUPMU,
NARUTOO!!!!
~.^...oOo....oOo...^.~
“Huuuuuffffttt...” entah untuk yang kesekian kali dalam pagi
ini pemuda 18 tahun itu menghela napas. Ia bukan berkeluh-kesah, melainkan
sedang menghibur diri dengan permainan barunya. Ia menganggap udara tipis yang
dapat keluar dari mulutnya karena keadaan yang terlampau dingin itu menarik.
Seorang lelaki berambut pirang yang agak panjang dan
memiliki mata biru tersenyum memperhatikan ulah anaknya.
“Naruto..?” panggil tuan Minato. Yang dipanggil menoleh
dengan tatapan heran.
“Ayo masuk, di sini dingin. Kau tidak mau kena flu’kan..?”
kata tuan Minato lalu tersenyum. Suaranya terlalu berwibawa dan menenangkan jiwa.
“Yoo, tapi aku akan menyelesaikan mengeruk salju sialan yang
membuatku harus bangun pagi-pagi sekali ini! Tou-san duluan saja.” Ucap Naruto
dengan semangat. Tuan Minato hanya tersenyum menanggapi ucapan anaknya itu
kemudian berlalu begitu saja.
“Kenapa musim dingin kali ini banyak sekali salju yang yang
turun sih..?!” teriak Naruto yang dengan semangat mengeruk butiran-butiran es
di hadapannya ke sebuah kereta dorong berwarna merah. Saat selesai, napasnya
tersenggal-senggal seperti baru melakukan lari keliling lapangan 400 kali.
“Naruto, kau tampak seperti ikan yang kehabisan air”
Naruto terkejut dengan suara itu. Ia hampir
saja jatuh terjungkal sangking kagetnya.
“Lee..?” tanya Naruto dengan nada kurang percaya pada pemuda
berpakaian norak yang berdiri di luar pagar rumahnya. Pemuda yang senyum
lebarnya dapat mengeluarkan bunyi ‘cling’ seperti bintang iklan pasta gigi itu
mengangguk-angguk pasti. Mata biru Naruto membulat.
“ROCK LEEEEEE....!!” teriak Naruto sekeras-kerasnya dan
langsung melompat memeluk mahluk dengan hair style batok kelapa itu dengan
beringasnya.
“SEMANGAT MASA MUDA TAK BOLEH DISIA-SIAKAN...!!!”
~.^...oOo....oOo...^.~
“Kapan kau kembali dari Amegakure, Lee?!” tanya Naruto
setengah berseru. Ia sangat senang melihat salah seorang sahabatnya yang sudah
lama tak ia temui karena bersekolah di kota lain. Mereka saat ini sedang berada
di ruang tamu rumah Naruto.
“Hehe, aku kembali kemari dua hari lalu. Maaf baru
mengunjungimu sekarang, Naruto. Nenekku membuatku sibuk sejak datang. Kedainya
membuat semangat masa mudaku bergelora!” Jawab Lee lalu tersenyum. Satu
tangannya terkepal tanda ia sangat bersemangat.
“Eheheh.. Nenek tua itu ku lihat kedainya semakin laris
akhir-akhir ini. Kakak Karashi juga kelihatannya lelah sekali melayani para
pembeli yang mengantri sangat banyak itu.” Timpal Naruto.
“Ya, baguslah. Daripada dia hanya mengeluh tiap hari di hari
tuanya.” Lee dan Naruto kembali tertawa bersama. Mereka berdua tampak seperti
saudara kembar.
“Bukannya,
kare penyambung nyawa legendaris buatan beliau memang selalu laris jika musim
dingin atau musim hujan?” sebuah pertanyaan dari seseorang yang suaranya penuh
wibawa mendiamkan tawa mereka. Ternyata tuan Minato yang baru saja muncul dari
ruang dalam dengan seragam rapi. Naruto dan Lee hanya nyengir-nyengir gak
jelas.
“Ah, begitulah Paman. Ku dengar itu untuk membuat tubuh
tetap hangat, dan membakar semangat masa muda!” lagi-lagi Lee bicara yang
ujung-ujungnya penuh semangat yang kadang kala mengagetkan orang. Tuan Minato
hanya tersenyum.
“Ah, Naruto. Aku harus pergi. Aku hampir terlambat untuk
daftar masuk sekolah musim dingin.” Ujar Lee yang baru saja mengecek arlojinya.
“Che. Kenapa seperti orang kurang kerjaan sekolah di musim
dingin yang jelas-jelas libur?” ucap Naruto dengan sedikit nada malas dan
kecewa.
“Heh! Semangat masa muda tidak boleh disia-siakan, Naruto..!
lagipula mengikuti kegiatan seperti ini bisa untuk menambah poin nilai sekolah.
Kau jangan malas, Naruto.”
“Kau’kan tidak sekolah di sini, Lee.”
“Memang benar. Tapi sekolahku punya sistem yang seperti itu.
Sudah, ya. Daa, Naruto, daa Paman, aku akan berkunjung lagi lain waktu!” Tidak
terasa ternyat Lee sudah melesat keluar rumah Naruto, membuat yang punya rumah
tertegun sejenak.
“Kau juga, Naruto. Pergilah mendaftar sekolah musim dingin.”
Kata tuan Minato. Naruto hanya mendengus malas sambil membenamkan diri ke sudut
sofa.
“Tidak ah. Aku akan menikmati liburku di rumah saja. Sudah
cukup setiap hari aku berkunjung sekolah di musim sekolah biasa’kan?”
Tuan minato hanya mengangkat bahu. Ia berbalik dan mengambil
mantelnya yang tergantung di gantungan mantel tak jauh dari jendela.
“Ayah kerja lagi hari ini.?” Tanya Naruto pada ayahnya yang
mulai memakai mantel berbulu tebal. Tuan Minato mengangguk mengiyakan. Pria
yang bekerja sebagai detektif itu masih berkutat dengan mantelnya.
“Lucu kau menanyakan itu, Naruto.” Ujar tuan Minato yang
sudah bersiap untuk berangkat. Mendengar itu Naruto hanya nyengir lima jari
khasnya desetai tawa.
~.^...oOo....oOo...^.~
“Sasuke, kau mau tambah jus tomatnya, sayang..?” tanya
Nyonya Mikoto dengan lembut. Yang ditanya hanya ber’HN’ ria karena masih
berkutat dengan sarapan pagi kesukaanya. Sebenarnya Sasuke benci mengakui kalau
ia menyukai sesuatu. Itu semua karena harga diri Uchiha yang terlampau tinggi
tumbuh di hatinya. Uchiha itu terlampau aneh karena kehormatannya. Orang-orang
yang duduk bersamanya dalam acara makan pagi itu tahu apa yang dimaksudnya.
Sungguh, ‘hn’ itu adalah dua kata turun-temurunyang slalu dipakai oleh seorang Uchiha. Uchiha yang
terhormat.
“Baiklah..” ucap nyonya Mikoto kemudian menuangkan jus tomat
kedalam gelas Sasuke.
“Aku juga mau,Bu..” kata Itachi sembari menyodorkan gelasnya
yang kemudian terisi penuh jus tomat.
“Sasuke, Otto itu’kan tropis, tapi kenapa kulitmu masih
tetap pucat begitu?” kata seorang pemuda bekulit pucat yang duduk di samping
Itachi. Secara fisik, pemuda itu hampir serupa dengan Sasuke ataupun Itachi
sendiri, yang membedakan hanya gaya rambutnya dan senyuman khas yang diakuinya
sebagai senyum palsu tak bisa lepas dari bibirnya. Senyum itu juga dibenci oleh Sasuke, sama seperti
Sasuke membenci saudara sepupunya yang bernama Sai itu. Karenanya Sasuke hanya
diam sembari menikmati jus tomat kesukaanya.
“Sasuke mana punya waktu untuk berjemur. Bukannya kau tahu
sendiri kalau Sasuke itu tidak suka matahari yang menyengat kulitnya? Dia pasti
lebih memilih mengurung diri di kamar sambil membaca setumpuk buku.” Ujar
Itachi dengan santainya. Yang dibicarakan tidak bergeming pura-pura tidak
mendengarkan, padahal ia benci kakaknya berbicara panjang dengan orang macam
Sai. Ia mengutuk Sai dalam hatinya saat melihat sepupunya itu tersenyum padanya
dengan senyum palsunya. Itu adalah senyum yang aneh bagi seorang Sasuke, dan
Sasuke sungguh paham kalau seorang Uchiha seharusnya tak tersenyum seperti itu.
Bahkan Uchiha harunya tak tersenyum.
“Hn. Benar juga.. Sasuke itu, tuan pembenci segala hal.”
Kata Sai yang masih menyunggingkan senyum khasnya. Ia tahu Sasuke kesal karena
pemuda yang duduk tepat di hadapannya itu tampak mendengus.
“Sasuke, ada benarnya kalau sekali-kali kau berjemur. Kau
tidak kasihan pada kulitmu yang semakin hari terus memucat begitu, hmm?” kata
nyonya Mikoto dengan lembut. Tangannya baru saja dapat meraih jemari Sasuke
yang tampak semakin kehilangan pigmen kulitnya.
“Hn. Akan kulakukan kapan-kapan...” kata Sasuke
dingin,”bersama ayah..” sambungnya. Semua orang terdiam, mereka tahu bahwa hal
itu tak mungkin. Tuan Fugaku terlalu sibuk mengurusi bisnisnya, tak akan ada
waktu kalau hanya untuk berjemur bersama keluarga. Bahkan pagi ini pun, tuan
Fugaku tak dapat makan pagi bersama mereka karena masih berada di luar negri
untuk mengurusi bisnisnya. Dan kalau benar Sasuke hanya akan berjemur kalau
bersama ayahnya, maka besar kemungkinan Sasuke tak akan bisa melakukanya
selamanya.
~.^...oOo....oOo...^.~
“Hey, Sasuke.. Kau tidak ingin jalan-jalan bersamaku..?”
suara lembut Sai sedikit mengagetkanya. Lagi-lagi Sasuke hanya menjawab dengan
‘Hn’.
“Hari mungkin dingin, tapi sepertinya salju tidak akan turun.
Ini sudah tiga hari sejak kau datang. Mau sampai kapan mengurung diri terus?”
ucap Sai lagi yang duduk dengan nyaman di bibir ranjang berbedcover biru tua
dengan lambang Uchiha di tengahnya. Sasuke yang duduk di belakang meja
belajarnya masih suka berkutat dengan kalender yang ada di depannya. Sai mulai
merasa kesal karena tak dianggap. Tanpa sadar tanganya meraih sebuah bantal dan
dilemparkannya bantal itu ke arah Sasuke. Puuk! Bantal itu dengan cantiknya mengenai
kepala Sasuke. Dan ‘pak!’ sebuah buku
tebal dengan mulus mencium dahi Sai yang membuatnya lengsung roboh ke belakang.
“Kau merusak tatanan rambutku..” ketus Sasuke yang kembali
merapikan rambut gaya emonya yang orang-orang bilang lebih mirip ekor ayam itu.
“Aduh.. Kau kejam, Sasuke..” ucap Sai yang mengusap-usap
dahinya yang kini memerah di atas kulitnya yang pucat itu. Saat ia bangkit,
senyumnya yang khas tersunggung di bibirnya. Sasuke mendengus, benar-benar
tidak suka senyum itu. Dan Sai selalu tahu itu.
“Itu salahmu..” ucap Sasuke dengan tatapan tajamnya.
“Tapi kau harus tanggung jawab, kau sudah membuat dahiku
memerah. Kau pikir ini tidak sakit?”
“Cih! Pergilah jangan ganggu aku.”
“Jadi begitu, ya? Tuan Uchiha yang terhormat lari dari tanggung
jawab..”
Sebuah buku kembali melayang ke arah Sai, tapi kali ini
tidak berhasil mengenainya. Sai tersenyum penuh kemenagan dengan senyum
palsunya saat melihat Sasuke mengeluarkan deathglarenya yang mengerikan. Ah,
Sai sudah biasa menghadapi itu. Ia sudah kebal.
~.^...oOo....oOo...^.~
“UAPAA?! JANGAN BERCANDA DONG INO-CHAAN...!!!” teriakkan itu
membahana ke seluruh sudut kota. Teriakan super cemprang itu siapa lagi kalau
bukan milik Uzumaki Naruto.
“Kalau mau teriak kira-kira donk!!” teriak gadis berambut
pirang yang tadi disebut bernama Ino tepat di telinga Naruto. Tanganya juga
langsung menjitak kepala kuning Naruto.
“Itte itte itte..” pekik Naruto.
“Kalau kau tidak mau, akan ku adukan pada bibi Kushina biar
kau tidak bisa makan ramen lagi selama setahun!” teriak Ino lagi.
“Tapi ini penyiksaan, Nee...” Naruto mulai memasang ekspresi
menangisnya yang mengenaskan. Cuma orang kejam yang tudak tersentuh dengan
ekspresi memelas anak kucing kecebur got yang minta dipungut itu. Tidak juga
Ino. Ino menghela napas panjang menghadapi ulah saudara sepupunya itu.
“Baiklah.. Kau kerjakan setengah saja.” Ucap Ino setelahnya.
“Yeeiii...!” sorak Naruto dengan girangnya. Ia bahkan
melompat-lompat tak karuan seperti orang bodoh. Ino hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Cepat kerjakan!” bentak Ino. Naruto langsung kembali
menghadap saudara sepupunya itu dengan cengiran lima jari khasnya.
“Serahkan padaku!” ucap Naruto dengan semangat berapi-api.
Ting tung! Terdengar suara
bel pintu. Ino langsung sumringah dan tanpa ba bi bu ia langsung melesat ke
dalam rumah meninggalkan Naruto yang heran dengan sikap sepupunya itu. Ia
berkedip-kedip cepat sebelum tersadar dari cengoknya.
“Apa-apaan itu..?” tanya Naruto entah pada siapa. Tak ada
jawaban membuat Naruto ikut terdiam. Ia kini lebih tertarik memandangi setiap
celah halaman belakang rumah sepupunya itu dibanding mengerjakan tugas mengeruk
salju yang entah kenapa akhir-akhir ini selalu ia kerjakan.
“Huuufffttt... Harusnya aku terima saja ajakan Lee untuk
sekolah musim dingin daripada setiap hari harus mengeruk salju yang tak ada
habisnya ini..” ucap Naruto lirih. Ia mulai mengeruk salju dengan sedikit
malas-malasan.
~.^...oOo....oOo...^.~
“Kau mengajakku keluar dingin-dingin begini hanya untuk
makan cotton candy..?” tanya Sasuke setengah tak percaya pada Sai yang berjalan
di sampingnya.
“Kenapa? Apa tuan muda Uchiha seperti kita tidak boleh makan
barang murahan begini?” tanya Sai dengan santainya lalu menikmati cotton
candynya lagi. Sasuke mendengus kesal dan itu membuat Sai tersenyum penuh
kemenagan.
“Sekali-kali, kita juga harus jadi orang biasa.” Ucap Sai
lagi tanpa menghilangkan senyum di wajahnya.
“Hn.”
“Sayang sekali, ya, cotton candy tidak ada yang rasa tomat.
Kalau ada, akan kubelikan untukmu..”
“Cih!”
Sai tergelak. Ia tertawa
kecil. Memang hal inilah yang dia sukai dalam hidup. Menggoda saudaranya dan
membuatnya marah itu terlihat sangat menarik.
Mereka berhenti di depan sebuah gedung sekolah yang cukup
besar. Ternyata mereka sudah cukup jauh menyusuri trotoar dalam acara
jalan-jalan itu.
“Apa yang kau lihat?” tanya Sasuke saat melihat Sai tampak
kagum pada beberapa orang pemuda yang lalu lalang di balik gerbang sekolah itu.
Sasuke benci Uchiha yang mengagumi sesuatu. Sai berbalik dan tersenyum padanya.
“Ada sekolah musim dingin.” Jawab Sai pada akhirnya.
“Memang siapa yang cukup bodoh sekolah di musim dingin?
Apalagi, ini musim liburan.” Ucap Sasuke ketus sebelum ia mendengus kesal.
“Aku tidak tahu.. Di Kirigakure tidak ada sekolah musim
dingin. Tapi, menurutku ini menarik. Daripada hanya berdiam diri di rumah
seharian selama musim dingin, bukankah lebih baik kita mengikuti kegiatan
yang berguna?”
“Hn. Aku benci dingin yang menusuk kulitku..” ucap Sasuke
dan beranjak pergi.
“Memang apa yang tidak kau benci di dunia ini?” Ucap Sai
dengan sedikit mengejek. Sasuke tidak menggubrisnya dan terus berjalan pergi.
“Mulai besok, ayo kita ikut sekolah musim dingin..” ucap Sai
yang masih berdiri di depan pintu gerbang. Samar-samar ia bisa mendengar Sasuke
berkata ‘Hn’ di kejauhan sana. Sai hanya tersenyum tanpa niat untuk mengejar
saudaranya itu.
“Semoga kau tahu jalan pulang, Sasuke..”
~.^...oOo....oOo...^.~
“Hachiiihhh...” sekali lagi Sasuke tidak bisa menahan rasa
gatal di hidungnya, udara dingin terus menusuk hingga dalam baju hangatnya.
Kalau ia terus berada di tempat dingin itu dan tak bisa menemukan jalan pulang,
ia benar-benar akan terserang flu yang memalukan. Berkali-kali ia merapatkan
baju hangatnya dan menggosok telapak tangannya agar sedikit hangat.
“Awas saja kalau aku sudah sampai di rumah,Sai. Aku akan
membunuhmu.. sialan..!” umpat Sasuke yang berjalan menunduk, berusaha agar
tetap hangat. Kini ia benci pada ponselnya yang tertinggal di rumah. Andai saja
ia tidak lupa membawa ponselnya, keadaannya tak akan seperti itu. Kalau saja
ponselnya ada, ia hanya tinggal menelpon ke rumahnya dan minta seseorang
menjemputnya. Tapi sekarang ini, Sasuke hanya bisa berandai-andai. Dan dia juga
benci hal itu.
Bruk! Seseorang menabrak
Sasuke yang langsung membuatnya jatuh ke samping.
“Maaf.. maaf,, Aku buru-buru..!” ucap orang yang menabrak
Sasuke sambil terus berlari meninggalkan Sasuke yang belum sadar sepenuhnya
dengan apa yang baru saja terjadi.
“Ugghh! Sialan!” umpat Sasuke yang masih terduduk di aspal.
Kini ia menyesal kenapa tadi tidak memakai sarung tangan, setelah kedua telapak
tangannya tampak mengeluarkan darah segar. Sesuatu benda berwarna hitam tampak
menancap di telapak tangan kirinya. Rasa perih kini menjalar hingga ubun-ubunnya.
Tak pernah ada yang membiarkannya terluka sampai seperti ini. Tapi sekarang dia
sendiri. Dia benci sesuatu melukai kulitnya.
“Hey, kau tidak apa-apa...?” ucap seseorang. Sasuke
mendongakkan kepalanya ke arah suara. Seorang pemuda pirang bermata biru yang
begitu indah berdiri tak jauh dari tempatnya terduduk. Sasuke diam saja sampai
pemuda itu meletakkan barang-barangnya dan mencoba meraih tangan Sasuke. Sasuke
menjauhkan tangannya dan berdiri.
“Hey, setidaknya bersihkanlah lukamu itu..” ucap Naruto.
“Hn” Sasuke berbalik dan beranjak pergi.
“Ohh.. jadi kau lebih suka lukamu infeksi dan tanganmu
membusuk..?” ucap Naruto dengan santainya. Tanpa sadar kaki Sasuke langsung
memaksanya mendekat dan kedua tangannya terulur ke arah Naruto. Gurat cemas sedikitnya
tersirat di wajah stoic Sasuke. Naruto tergelak, tertawa nyaring. Dan itu membuat Sasuke
membencinya dalam waktu dekat.
Naruto mencuci luka Sasuke menggunakan air mineral yang di
bawanya. Dan untungnya ia baru saja disuruh membeli perlengkapan kotak P2(pertolongan
pertama)oleh Ibunya, jadi ia tak harus susah-susah mencari sesuatu untuk
membalut luka orang yang dari tadi diam tak mau menyebutkan namanya itu.
“Baiklah, sudah selesai..” ucap Naruto yang baru saja
selesai membalut luka Sasuke.
“Hn.” Ucap Sasuke. Naruto mengenyitkan dahinya karena tak
mengerti apa yang dimaksud pemuda di depanya itu.
“Hn itu apa? Bicara yang
jelas donk. Apa mulutmu juga terluka?” tanya Naruto. Dan Naruto kembali
mendapatkan jawaban dengan dua kata yang entah kenapa jadi dibencinya.
“Uhh.. Aku sumpahi
tanganmu akan membusuk kalau kau diam saja atau bergumam dengan dua
huruf itu, apalagi kau tak mengucapkan kata terima kasih padaku..” kata Naruto
lalu menggembungkan pipinya dan melipat kedua tangannya di dada, tanda bahwa ia
sedang ngambek. Sasuke mendengus. Ia benci kalau harus mengucapkan kata ‘terima
kasih’. Uchiha tidak mengucapkan terima kasih yang tidak penting.
“Aku tidak terbiasa mengucapkan kata tidak berguna itu..”
ucap Sasuke pada akhirnya. Nada angkuh menyertai kalimat itu.
“Apa? Kau bilang tidak berguna? Terima kasih itu salah satu
dari tiga kata paling indah tahu..!”
“Aku tidak perduli itu!”
“Dasar! Apa orangtuamu tak pernah mengajari cara bersopan
santun pada orang lain hah?!”
Sasuke membuang muka dan sedikit menunduk. Mulutnya yang
terkatup rapat membuat Naruto sedikit merasa bersalah. Ia takut mengatakan hal
yang salah. Bagaimana kalau pemuda itu tak mempunyai keluarga apalagi orangtua?
Naruto mengutuk dirinya sendiri karena ulahnya itu.
“Ehh, baiklah lupakan saja. Aku Naruto Uzumaki, siapa
namamu?” ucap Naruto sambil menyodorkan tangannya hendak menyalami, tak lupa
juga ia memasang cengiran khasnya. Sasuke menatap tajam pada Naruto. Hal itu
membuat Naruto menepuk dahinya sendiri karena menyadari kebodohanya.
“Ehehehe.. Maaf, maaf. Aku lupa kalau aku baru saja membalut
tanganmu yang teluka, hahaha...” ujar Naruto lalu tertawa. Jemari tangan
kanannya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Sasuke, namaku Uchiha Sasuke..” jawab Sasuke dengan nada datar.
“Eh? Uuu.? U Apa tadi namamu..?” tanya Naruto lagi yang
tidak fokus mendengarkan Sasuke menyebutkan namanya. Sasuke mendengus kesal.
“Cih! Dobe!” ucap Sasuke ketus. Naruto langsung berkelit
marah.
“Siapa yang kau sebut ‘Dobe’?!” teriak Naruto sambil
menunjuk hidung Sasuke dengan jari telunjuknya.
“Kau, Dobe..” ucap Sasuke gejek.
“Cih! Temee..!” teriak Naruto. Dan terjadilah perang mulut
di antara mereka berdua. Saling ejek dengan sebutan-sebutan merendahkan.
Hingga..
Kruuukruk...
Salah satu perut dari mereka berbunyi. Hening sejenak.
“HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHA....!!” tawa Naruto meledak dan
membahana di setiap sudut gang sempit itu. Ia masih terus tertawa geli tanpa
memperdulikan wajah Sasuke yang memerah semerah tomat karena malunya. Kini
Sasuke membenci perutnya karena berbunyi dengan tidak elite. Sasuke sebisanya
membenamkan wajahnya yang memerah ke dalam syal biru tua yang melingkar di
lehernya. Cih! Uchiha tidak boleh menunjukkan ekspresi memalukan seperti itu.
“Ehehehe.. hihihi...” Naruto masih saja tertawa sekeras
apapun ia mencoba menguasai rasa geli yang mengelitiki perutnya, hingga
tenggorokannya pun rasanya sakit karena tawa itu.
“Berhenti tertawa, Dobe!” bentak Sasuke yang kini berubah
marah.
“Ehehe.. Maaf, aku tidak tahan.. hahaha..!” ucap Naruto di
sela-sela tawanya. Sasuke benar-benar marah sekarang. Bagaikan terlihat empat
siku merah yang membentuk perempatan jalan muncul di kepalanya. Ia mengeluarkan
aura membunuhnya yang mengerikan. Deathglare ala Sasuke membuat Naruto merinding
dan menelan paksa ludahnya yang mengering karena tertawa tadi.
“Ehe, ya, ya, baiklah aku minta maaf, T-teme..” ucap Naruto
takut-takut. “Habisnya kalau lapar, bilang dong, Teme.” Sambungnya.
“Hn.”
“Ayo, aku akan mentraktirmu makan..”
Naruto mengemasi barang-barangnya sebelum kemudian berdiri.
Senyumnya yang tulus tersungging untuk Sasuke. Sebenarnya hati Sasuke berteriak
untuk menolak, tapi tubuhnya baru saja mengiyakan ajakan Naruto. Seakan tersihir
atau terhinotis oleh sesuatu..
~.^...oOo....oOo...^.~
Klotak. Klotek. Klotak.
Klotek.
Berkali-kali Sasuke
menjatuhkan sumpitnya. Tangannya yang masih terasa nyeri kalau ditekuk
membuatnya tidak leluasa memegang benda kecil itu. Sampai sekarang pun ia belum
berhasil memakan sesuap pun ramen yang mengepulkan uap di hadapannya itu.
Naruto yang memperhatikan itu hanya bisa tersenyum geli. Sebenarnya Naruto sedang
menunggu Sasuke menyerah karena dengan angkuh ia menolak tawaran bantuan
darinya.
“Hhhh..” Sasuke mendengus kesal. Ia sudah menyerah
menghadapi sumpit sialan di hadapanya itu. Kini Sasuke membenci sumpit.
“Sudah aku bilang’kan..” ucap Naruto dengan nada mengejek.
“Cih! Aku tidak mau makan. Aku tidak lapar..” sepersekian
detik setelah ucapan Sasuke itu, bunyi perutnya kembali terdengar. Ia langsung
tertunduk menyembunyikan wajah merahnya, sedangkan Naruto mati-matian menahan
tawanya. Sasuke ingin sekali melemparkan sesuatu pada pemuda pirang di
hadapanya itu, kalau saja tangannya tidak sakit.
“Teme, benar kau tidakmau aku suapi? Tampaknya kau sudah
sangat kelaparan” kata Naruto sambil memanas-manasi Sasuke dengan melahap
ramennya dan menunjukkan bahwa makanan itu benar-benar nikmat. Kalau saja
Sasuke bukan seorang Uchiha yang terhormat, ia pasti akan menelan ludah dengan
ekspresi mengenaskan.
“Naruto-kun, kalau dia tidak mau kau yang menyuapinya,
serahkan saja padaku..” kata Ayame, putri paman Teuchi atau yang lebih dikenal
sebagai pemilik kedai ramen itu. Sasuke memandang ngeri pada gadis manis itu
saat ia berkedip nakal padanya. Cih! Sasuke benci kedipan mata nakal para
gadis.
“yosh! Ayame-nee..! boleh saja.” Kata Naruto kemudian tertawa.
“Dobe...”
Naruto kini merinding
mendapati deathglare Sasuke. Untung saja ia tidak langsung jatuh terjungkir karena pemandangan
mengerikan itu. Sungguh salah tingkahnya karena takut.
~.^...oOo....oOo...^.~
“Aaakh.. Teme, ayo, aaa..” bujuk Naruto sembari mengarahkan
sumpit penuh mie ke arah mulut Sasuke yang terkatup rapat-rapat. Tatapan tanpa
ekspresi Sasuke seakan menusuk mata safire Naruto. Tapi entah mengapa Naruto
seakan tak menyadari itu. Ya, tapi itu hanya menurut Sasuke, karena pada
kenyataanya Naruto berkeringat dingin dipandangi seperti mau ditelan
hidup-hidup begitu. Naruto hanya mencoba mengalihkan perasaannya, agar tak mati
berdiri karena takut.
“Ahh! Aku makan sendiri saja..” ucap Naruto setengah
berteriak kemudian benar-benar melahap ramen itu, sampai habis tentunya.
“Dobe..”
“Terima kasih untuk makanannya...” seru Naruto sembari
mengatupkan kedua tangannya di depan dada, tidak lupa dibumbui cengiran
khasnya.
Triiing!
Lonceng yang di pasang di pintu kedai berbunyi saat Naruto
membukanya dan berbunyi kembali saat pintu itu tertutup. Naruto bersenandung
ria saat meninggalkan tempat itu, hampir tak memperhatikan Sasuke yang berjalan
lima langkah di belakangnya. Tapi sebenarnya ia tidak sepenuhnya tidak sadar
kalau Sasuke mengikutinya. Ia hanya mencoba mengalihkan perhatiannya dari
pemuda pemilik mata onyx itu. Kegiatan itu berlangsung sampai mereka melewati
beberapa blok. Dan rumah Naruto sudah terlihat dari situ. Naruto menyerah dari
tekadnya untuk tak menggubris pemuda yamg sebelum keluar dari Ichiraku Ramen’s
sudah ia suruh pulang. Naruto berbalik dengan cepat ke arah Sasuke yang tetap
berada lima langkah dibelakangnya. Tampang curiga dipasangnya pada wajahnya
yang imut itu.
“Hey, Teme.. Aku sudah menyuruhmu pulang’kan? Kenapa malah
mengikutiku?!” tuduh Naruto sambil menunjuk-nunjuk Sasuke. Sasuke hanya
terdengar menghela napas panjang.
“Siapa yang mengikutimu? Aku sedang mencari jalan pulang.”
Begitulah harga diri Sasuke menyuruhnya bicara. Walau dalam hati ia ingin
meminta tolong untuk mengantarnya pulang ke rumahnya yang ia tidak tahu di mana
tempatnya sekarang. Ia benar-benar mengutuk Sai yang meninggalkanya sendirian
di tempat yang tak pernah ia tinggali seumur hidupnya, yang ia ingat tentunya.
“Hmmm...” Naruto memasang ekspresi berpikir lama sekali
sampai seseorang tiba-tiba datang dan menggelayut dilengan Sasuke. Ia sedikit
kaget melihat hal itu.
“Sasuke-kuun... Aku merindukanmu..” kata gadis bersurai
merah muda yang menggelayut di lengan sasuke dengan manjanya, tak memperdulikan
Sasuke berusaha melepaskan cengkramannya. Kini ia berpikir bahwa ia bisa
meninggalkan Sasuke dengan tanpa diikuti lagi. Tapi dalam hatinya ia merasa
berat melangkahkan kakinya meninggalkan tempat
Sasuke itu.
~.^...oOo....oOo...^.~
“Oh, Sai.. Kenapa bisa kau kehilangan Sasuke? Bagaimana
kalau dia tersesat? Bagaimana kalau terjadi apa-apa? Bagaimana kalau seseorang
bertindak jahat padanya?” tanya nyonya Mikoto dengan nada cemas.
Jemari-jemarinya meremas sebuah sapu tangan hingga tak berbentuk. Sai hanya
tersenyum palsu seperti biasanya.
“Sudahlah, Mikoto-san, bukankah Sasuke itu sedah besar? Dia
pasti sudah bisa menjaga dirinya dengan baik, apalagi dia mengikuti pelatihan
bela diri sejak kecil...” kata seorang pria berkulit pucat berambut hitam
panjang yang dibiarkan tergerai. Pria bermata ular itu menyentuh bahu nyonya
Mikoto untuk menenangkanya. Ialah Orochimaru, ayahnya Sai.
“Tapi, Orochi-san, aku tetap cemas.. dia tidak mengenal kota
ini..” ucap nyonya Mikoto lagi. Gurat cemas malah bertambah di wajah cantiknya.
“Aku sudah menyuruh orang untuk mencarinya, kau tenanglah
sedikit..” ucap Orochimaru kembali menenangkan. Sekilas ia menatap Sai yang
masih menyunggingkan senyum palsu di wajahnya. Ia menghela napas Menahan diri agar tak langsung berteriak pada
anak semata wayangnya itu.
Klek! Pintu ruang
santai itu terbuka dan menampilkan sosok pria paruh baya yang wajahnya penuh
dengan bekas luka. Semua pandangan tertuju pada kepala keamanan khusus kediaman
Uchiha itu.
“Saya hanya ingin melaporkan bahwa tuan muda Sasuke sudah
kembali.. Beliau ada di depan sekarang.” Kata Danzou, begitu mereka menyebut
kepala keamanan bertampang sangar itu.
Wajah nyonya Mikoto langsung terlihat senang. Ia langsung pergi menemui orang
yang ia tunggu-tunggu. Memang benar nyonya Mikoto menemukan putra bungsunya di ruang
tamu, Sasuke yang memasang wajah kesal karena seseorang berpakaian perawat
memegang tangannya yang dibalut perban.
“Sasuke..!” panggil nyonya Mikoto sembari memelik anaknya.
Orochimaru yang memperhatikan dari jauh tersenyum walau
dengan senyumnya yang mengerikan. Ia kemudian berbalik pada Sai yang berdiri
beberapa langkah di belakangnya. Menyadari bahwa ayahnya memasang ekspresi
mengerikan, Sai langsung tersenyum palsu.
“Ayah ingin bicara padamu, Sai..”
~.^...oOo...oOo...^.~
“Sasuke-kuun...!”
Ugh! Sasuke hampir menusuk telinganya sampai tuli kalau
mendengar suara itu. Suara dari gadis
bersurai merah muda yang berlari-lari kecil ke arahnya. Sasuke mendengus kesal
karena melihat gadis paling dibencinya muncul lagi dalam dua hari ini. Oh,
Sasuke ingin bunuh diri jika ia ingat bahwa gadis itu sudah dijodohkan denganya
sejak kecil. Sai yang dari tadi duduk melukis tak jauh dari Sasuke
memperhatikan ekspresi mengenaskan saudara sepupunya itu dengan pandangan tak
mengerti.
“Selamat pagi, Sasu-kuun.. Hai, Sai-kun..” seru Sakura
sembari melambaikan tangannya. Wajahnya sumringah sekali hari ini walau Sasuke
hanya diam, dan Sai hanya tersenyum padanya.
“Wah, kalian sedang melukis, ya,,? Sai-kun, lukisanmu bagus!
Untukku yaa? Waw, ini lukisan wajah Sasuke! Kau harus memberikanya padaku
Sai-kun!” oh, centilnya Sakura. Ia bahkan histeris kalau mendapatkan segala
sesuatu mengenai Sasuke. Dan Nona manja satu ini harus mendapatkan apapun yang
dia mau. ‘Tidak boleh tidak’ adalah hukum dari Seorang Sakura yang tidak boleh
digangu-gugat. Karenan itulah Sasuke benar-benar yakin bahwa ia membenci mahluk
itu.
“Sasuke-kuun.. Kenapa diam saja sih..?” protes Sakura yang
merasa didiamkan saja dari beberapa menit lalu. Sasuke tidak menjawab, ia
langsung berdiri. Begitu juga Sai yang ternyata dengan terpaksa harus merapikan
perlengkapan melukisnya lagi. Mereka berdua langsung pergi begitu saja
meninggalkan Sakura yang berdiri diam dengan pandangan tak mengerti.
~.^...oOo....oOo...^.~?
“Kalau kau meninggalkanku lagi seperti kemarin, aku tidak
akan segan-segan untuk membunuhmu..” ancam Sasuke yang berjalan berjejer dengan
Sai di trotoar. Sai tersenyum seperti biasanya.
“Ada satu hal yang terbalik, Sasuke, kaulah yang
meninggalkan aku kemarin itu.” Ucap Sai dengan santainya. Sasuke mengenyitkan
dahinya sebelum mengeluarkan deathglare andalanya pada Sai. Tapi Sai hanya
tergelak dan tertawa kecil.
“Akuilah, tuan muda Uchiha yang terhormat..” ejek Sai.
Sontak sebuah tas selempang mendarat di kepalanya dan hampir membuatnya jatuh
terjungkir ke jalan raya.
“Ugh! Itte..” pekik Sai sembari memegangi kepalanya. Oh,
Sai, sadarilah bahwa Sasuke hobi melemparkan sesuatu padamu.
“Kaulah yang neminta hal itu. Mau yang lebih buruk?” kata
Sasuke sembari mengeluarkan deathglarenya yang mengerikan. Sai menahan napas.
Keringat dingin mengalir dari poninya.
~.^...oOo....oOo...^.~
“Narutoo.. ayo cepat nanti kita terlambat!” teriak seorang
pemuda norak dengan potongan rambut batok kelapa. Siapa lagi kalau bukan Rock
Lee. Pecinta Thai Boxing itu sedang lari di tempat menunggu Naruto keluar dari
rumahnya. Tak lama kemudian pemuda pirang yang ditunggunya keluar rumahnya
dengan keadaan acak-acakan, berlari melompati pintu pagar dan terus saja tanpa
berhenti. Sekarang dia yang bingung.
“Ayo cepat larii Leee...!!!” teriak Naruto di kejauhan.
“??” Lee cengok.
“NARUTOOO...!!” teriakan super cempreng hampir membuat Lee
yang belum juga beranjak dari tempatnya lari jatuh terjungkir. Dilihatnya
Kushina di depan pintu dengan aura membunuh. Melihat hal itu Lee menelan
ludahnya dengan paksa dan langsung berlari super cepat menyusul Naruto yang
sudah begitu jauh meninggalkannya.
“Huuuhh... huh.. huh.. huh... hah... hah.... hosh hosh hosh
hosh haaaaaa......hhh...” Naruto roboh di tanah dengan napas nyaris putus
karena terus berlari tanpa henti dari rumahnya ke sekolah, padahal jarak rumah
dengan sekolahnya sejauh 5 blok. Ia masih terus terlentang di rerumputan
bercampur salju itu untuk menarik napas agar ia tidak mati saat itu juga.
Matanya terpejam. Tidak perduli lagi pada beberapa orang teman satu sekolahnya
lewat di dekatnya, di jalan semen tentunya.
“Huuhh.. Mengerikan...”
Ucapan seseorang yang
Naruto rasa tidak jauh darinya menarik perhatianya. Naruto kini duduk, matanya
membulat mendapati seorang pemuda seumurannya sedang membungkuk tak jauh dari
sebatang pohon yang memang tak jauh dari Naruto. Tangan kiri pemuda itu
memegang batang pohon dan tangan kanannya berada di lutut menyangga berat
badannya. Naruto tidak mengerti kenpa pemuda itu juga terlihat ngos-ngosan
seperti dirinya.
“Heh, apa kau bilang tadi..?” tanya Naruto ingin tahu. Pemuda
berkulit pucat itu mengankat wajahnya menatap Naruto. Entah kenapa Naruto
merasa pernah melihat orang ini.
“Ngh..? Tidak ada apa-apa kok...” kata Sai lalu tersenyum
palsu. Ia kembali berdiri tegak setelah napasnya terasa lebih ringan. Jujur
saja, ia baru saja berlari meninggalkan Sasuke yang sedang marah. Deathglare
yang dikeluarkan pemuda Uchiha itu terlalu mengerikan hingga menakuti seorang
Sai yang terkenal kebal.
“Oh..” hanya itu yang keluar dari mulut Naruto sebelum ia
berdiri dan menepuk-nepuk bajunya yang kotor karena salju. Ia juga kembali
memebenarkan topi hagatnya yang hampir terlepas dari kepalanya. Kemudian entah
kenapa ia nyengir pada orang yang belum ia tahu namanya itu. Sai pun
membalasnya dengan senyumnya yang biasa.
“Kau, sepertinya bukan orang sini. Aku belum pernah
melihatmu.” Ujar Naruto dengan wajah serius. Sai tersenyum palsu.
“Memang bukan. Aku tidak tinggal di sini. Aku hanya
liburan.” Jawab Sai tanpa menghilangkan senyumnya.
“Oh. Namaku Uzumaki Naruto! Salam kenal!” seru Naruto lalu
nyengir lima jari khasnya. Sai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Aku, Uchiha Sai.. Dan, ya, salam kenal..” agak canggung Sai
mengatakan hal itu. Selama ini setiap orang yang di temuinya jika sudah tahu ia
berasal dari kalangan orang terlalu kaya pasti lagsung menjaga jarak. Tapi
entah kenapa ia tak menemukan hal itu dari seseorang bernama Uzumaki yang
tersenyum tulus padanya itu.
“Narutooo...!” teriakan ala petarung kurang kerjaan membuat
Naruto dan Sai menoleh ke arah pintu gerbang. Ternyata Lee sudah berhasil
menyusul. Ia melambaikan tangannya dengan semangat ke Naruto, tapi bukan itu
yang dilihat Naruto saat itu. Ia melihat sosok pemuda yang berjalan berjejer
dengan Lee. Pemuda berstyle rambut ekor ayam. Ah, itu pemuda yang kemarin
membuatnya tak bisa tidur. Dan hal yang tak disadari Naruto saat itu adalah
wajah pucat Sai yang menjadi semakin pucat.
“Larimu cepat sekali Naruto. Dan kau keterlaluan membiarkan
aku melihat ibumu yang mengeluarkan aura membunuhnya.” Kata Lee saat ia dan
Sasuke sudah berada di dekat Naruto dan Sai. Naruto tertawa renyah.
“Hahaha.. Aku’kan sudah menyuruhmu lari. Selebihnya itu salahmu
sendiri.” Kata Naruto lalu kembali tertawa, tak memperdulikan Sasuke yang
mendengus kesal. Sasuke baru saja menemukan sesuatu yang bisa dibencinya, tawa
Naruto.
“Ah, Naruto kuperkenalkan kau dengan temanku.” Seru Lee.
“Aku bukan temanmu!” ketus Sasuke setengah berteriak. Ia
juga benci mahluk norak di sampingnya itu. Lee langsung menunduk lemas.
“Ya, ya Sasuke. Walau kita pernah satu Dojo, kau memang tak
pernah menganggapku teman, hueee...” entah kenapa Lee sudah nangis di pojokan
dengan air mata deras dan latar belakang langit mendung. Dan Naruto juga di
sana menepuk-nepuk punggung Lee untuk menenengkan sahabatnya itu. Sedangkan Sai
memasang senyum palsunya menanggapi hal konyol yang dilihatnya itu. Ah, konyol.
~.^...oOo....oOo...^.~
Angin semilir membelai lembut rambut Sasuke, membelai poni
Naruto yang tak tertutup topi hangat. Mata safirenya menatap onyx kelam Sasuke.
Sebuah senyum tipis tersungging ganjil di sudut bibir Sasuke.
“Hay.. Kita ketemu lagi...”
~.^...oOo....oOo...^.~
“KYAAA... KYAAAA... KYAAAAA... \(*o*)/”
Teriakan para gadis membuat seorang guru berambut perak
tajam menggeleng-geleng frustasi. Pasalnya, sebagai guru ia seperti tak
dianggap oleh para muridnya. Padahal ia adalah salah satu dari dari dua guru
killer paling disegani seantero jagat KONOHA HIGH SCHOOL. Hal yang membuat guru
berpenampilan harajuku Itu frustasi adalah karena tanggapan para murid gadisnya
terhadap dua murid pendatang yang baru
masuk. Salah satunya adalah siapa lagi kalau bukan mister sempurna, tuan muda
Uchiha yang terhormat, Uchiha Sasuke. Berkali-kali ia mendengus kesal.
Telinganya hampir tuli mendengar teriakan norak para gadis. Pembuat onar
sekolah musim dingin yang satunya lagi adalah pemuda pemilik manik jade yang
punya tatapan pembunuh, barsurai merah bata, dan punya hiasan warna hitam pada
kelopak matanya yang membuat kesan cool. Ia juga mempunyai tatto dengan huruf
kanji terbaca ‘AI’ di pelipisnya. Hanya dengan sekali tatap ia bisa membunuh seorang
gadis. Untungnya belum jatuh korban hari itu. Dan Yang paling penting dari
seorang bernama Sabaku No Gaara itu adalah ia merupakan putra walikota
Sunagakure.
Hatake Kakashi, begitu yang tercantum di nametag yang digunakan pria bernasker yang mempunyai
dua mata berbeda warna itu. Ia sedang berdiri di depan kelas dengan kedua
tangan terlipat di dada seperti yang dilakukan Gaara saat ini. Membiarkan
keributan terjadi dikelasnya. Tapi lama-lama ia naik darah juga. Sebuah twich
merah bertengger di kepalanya.
PRAANNGGG!!!!
Sebuah kursi melayang keluar jandela. Menghancurkan kaca
jendela itu hingga berkeping-keping, sungguh tak berbentuk lagi. Sungguh kursi
dan jendela yang malang. Semua mulut terkatup rapat. Hening. Deathglare Kakashi
menyeruak ke seluruh sudut kelas. Bagaikan melihat kemarahan iblis, hampir
semua murid dalam kelas itu memucat seperti mayat mengalahkan pucatnya Sai,
kecuali Sasuke, Gaara, Sai, seorang pemuda bernama Hyuuga Neji, dan seorang
pemuda berambut gaya mahkota nanas yang sedang asyik tertidur, serta seorang
pemuda misterius yang memakai tudung
jaket dan kacamata hitam. Ahh.. Inilah akibatnya kalau berurusan dengan
guru killer.
“Terima kasih atas ketenanganya, mari kita mulai pelajaran
hari ini.” Kata Kakashi dengan tenang. Sebuah buku tebal bertuliskan KIMIA ia
buka kemudian ia menuliskan sesuatu di white board tanpa memperdulikan sebagian
murid-muridnya yang masih pucat pasi di belakang sana.
~.^...oOo....oOo...^.~
Ruang kantin sekolah yang besar itu tampak sepi. Hanya ada
beberapa orang saja yang menghuni beberapa bangku kosong di sana untuk makan
siang. Sekolah misim dingin kali ini, banyak murid Konoha High Shcool yang
tidak ikut berpartisipasi. Mungkin karena udara dingin musim ini yang terlalu
dingin. Di sudut utara ruang persegi itu, terlihat Naruto bersama beberapa
temannya. Mereka baru saja selesai makan. Terlihat dari beberapa nampan berisi
piring dan gelas kotor di depan masing-masing orang. Kecuali Lee.
“Huuuhhh... Guru Kakashi tetap mengerikan seperti dulu, ya,
Naruto?” kata Lee di sela-sela kegiatan makan siangnya. Sepiring nasi dengan
kare yang dinamai ‘Kare Penyambung Nyawa’ baru saja ludes dilahapnya beberapa
detik yang lalu. Naruto hanya tertegun dengan mulut ternganga. Pasalnya dia
tahu, bekal makan Lee yang tidak biasa itu bisa membunuh seseorang karena rasa
pedasnya yang kelewat batas maksimum kemampuan manusia biasa. Sungguh Naruto mengagumi sahabatnya itu
sekarang.
“Hey! Naruto!” panggil Lee yang menemukan Naruto memandang
kagum ke arahnya. Ah, entah apa yang terlewat. Tiba-tiba mereka sudah saling
peluk dengan air mata yang bercucuran dan latar belakang ‘langit senja di
pantai yang diwarnai deburan ombak’. Sungguh pemandangan layak sensor.
“Ahh, medokusai..” desah malas itu terdengar dari pemuda
berambut nanas yang belakangan diketahui bernama Nara Shikamaru.
“Mereka tidak berubah, ya? Masih saja lebay seperti dulu.”
ujar seorang pemuda berambut coklat dengan tatto segitiga merah terbalik di
masing-masing pipinya. Inuzuka Kiba, begitu mereka menyebutnya. Pemuda yang
taringnya terlihat panjang itu memandang ngeri melihat pemandangan di depannya.
“Cih! Entah kenapa aku jadi malu dan heran, kenapa tuhan
menakdirkan aku untuk menjadi salah satu sahabat mereka.” Ucap Neji dengan nada
datarnya.
“Jangan membicarakan soal takdirmu di sini, Neji..” seorang
pemuda misterius lain menimpali. Nametag yang terpasang di jaketnya mungkin
sengaja dipasang agar orang lain tak perlu menanyainya soal nama, karena ia
hanya akan bicara kalau ia ingin. Pemuda irit bicara itu bernama Aburame Shino.
Dan sebenarnya ia juga merasa aneh, kenapa orang sejenius dia, Neji, dan
Shikamaru bisa jatuh hati untuk menjadi sahabat Naruto. Dan anehnya hal itu
berlangsung sejak mereka masih di taman kanak-kanak. Pemuda sensitif ini bahkan
sedikit cemburu melihat Naruto dan Lee saling berpelukan. Bukan karena ia
menyukai Naruto dalam artian lain, tapi itu semua karena sifatnya yang memang
sedikit egois untuk sesuatu yang bisa diklaim miliknya, termasuk Naruto yang
adalah sahabatnya. Ia juga akan cemburu bila teman-temanya yang lain dekat
dengan orang lain yang bukan dirinya. Alhasil karena kecemburuan dan sedikit
ketersinggungannya, berbatang-batang sumpit beserta tempatnya melayang
menghujami Naruto dan Lee. Oh, pandanglah dethglare ala Shino yang mengerikan
itu. Dan ya, hampir seluruh pengunjung kantin yang menyaksikan keributan itu
langsung merinding ngeri melihat deathglare Shino. Semua orang juga tahu
peraturan untuk ‘tidak mengambil sesuatu milik Shino’ atau nyawamu melayang
dengan cuma-cuma.
“Itte! Shino kejam!” sungut Naruto sambil memasang ekspresi
ngambek. Ah, kalian pasti sudah tahu bagaimana ekspresi ngambek Naruto yang
imut itu. Ya, kedua tangan yang terlipat di dada, pipi yang menggembung dan
bibir yang manyun beberapa senti. Itu adalah jurus terampuh untuk menenangkan
psikopat macam Shino. Ah, lagi-lagi Shikamaru merapal mantranya ‘medokusai’ dan
Neji yang menggeleng pelan, lain halnya dengan Kiba yang tertawa terbahak-bahak
sambil memegangi perutnya.
“Ng.” Hanya itu yang keluar dari mulut Shino.
“Uwaah.. Ternyata Shino masih mencintaiku sepenuh hati..!”
air mata Lee bercucuran deras seperti air terjun dengan lebaynya.
“Ck! Hentikan wajah mengenaskan itu, Lee! Kau membuatku
hampir mengeluarkan kembali makanan yang yang baru ku makan.” Ucap Neji dengan
ketus. Mahluk jenius satu ini memang tak
menyukai Lee karena sikap lebaynya yang sudah tak tertolong lagi. Oh, neji ingin bunuh diri saat itu juga,
karena keadaan Lee malah jauh lebih mengenaskan lagi. Pasalnya, Lee menatapnya
dengan mata berkaca-kaca ala anak kucing kecebur got minta dipungut yang bagi
Neji, wajah itu lebih hancur dari sebongkah tahu yang ditabrak kereta api
ekspres. Hal itu bahkan membuat Kiba yang dari tadi tertawa jatuh kejengkang dari kursinya.
“Medokusai..” keluh
Shikamaru yang tidurnya terganggu. Tiba-tiba..
KYAAA..!! KYAAA...!!!
KYAAA...!!!
Teriakan memekakan telinga dari para gadis terdengar saat sosok
pemuda tampan memasuki ruang kantin. Seseorang berambut merah bata. Tatapan
pembunuh pemuda itu ternyata tak menakuti para gadis yang entah sejak kapan
begitu menggilainya. Gaara benar-benar ingin membunuh mereka semua kalau ia
tidak ingat ada hukum di dunia ini. Pemuda pemilik tatto ‘AI’ di pelipisnya itu
berjalan menuju Naruto dan teman-temannya yang jadi terdiam karena
kedatangannya yang begitu heboh itu. Pemuda itu duduk di pangkuan Neji yang
kebetulan duduk di ujung bangku. Sebelah tanganya bahkan melingkar di leher
Neji. Entah kenapa hal itu membuat gadis-gadis yang meneriakinya langsung
kehilangan suara. Pucat pasi bagai melihat setan. Lalu menghilang begitu saja.
Tapi hal itu ternyata berdampak juga pada Naruto, Lee, dan Kiba. Mereka bertiga
kompak menatap Gaara dengan pandangan tak terdefenisi. Yang paling mereka tatap
adalah tangan kiri Neji yang meyangga punggung Gaara. Seakan tak keberatan
dengan perlakuan Gaara pada pemuda bermarga Hyuuga itu.
“Oh, Neji.. Sekolahmu benar-benar mengerikan.” Ujar Gaara
dengan nada dingin. Manik jadenya menatapi satu-satu pandangan aneh yang
diberikan teman-teman Gaara padanya.
“Apa?” satu kata yang keluar dari mulut Gaara membuat
Naruto, Lee, dan Kiba menelan ludah paksa, tak berani mengeluarkan suara karena
tatapan membunuh milik Gaara.
“Medoukusai, Gaara. Bermesraan boleh saja tapi jangan di
tempat umum.” Ujar Shikamaru lalu menguap.
“Apa itu masalah untukmu?” tanya Gaara dengan nada datar.
Mata tajamnya bertemu-tatap dengan mata Shikamaru yang entah kenapa jadi tajam
juga. Kegiatan saling tatap itu akhirnya membuat Neji jengah juga. Ia
menurunkan Gaara dari pangkuannya dan menarik pemuda ‘panda’ itu keluar dari
ruangan kantin tanpa bersuara.
Kepergian mereka dari kantin ternyata diperhatikan oleh dua
sosok pemuda berkulit pucat. Sasuke dan Sai sedang berdiri di dekat sebatang
pohon yang tak memiliki daun. Sai sedang asyik tersenyum dan sesekali memakan
cotton candy di tangannya. Sedangkan Sasuke memperhatikan wajah Naruto
dari jauh. Wajah imut Naruto yang sedang
bicara dengan teman-temannya dengan ekspresi polos seperti anak kucing. Tak ada
senyum atau tawa dari bibir Naruto. Yang Sasuke lihat hanya wajah
ketidakpercayaan terhadap sesuatu. Kali ini, hal itulah yang dibenci Sasuke.
Selama berada di sekolah sampai siang ini, ia belum mendapati Naruto tersenyum
padanya seperti hari pertama mereka bertemu. Sasuke mendengus kesal. Kenapa ia
tak menghampiri Naruto dan bicara dengannya di sana? Bolehkan ia membenci
dirinya sendiri yang tak punya keneranian untuk menghampiri orang yang
menolongnya kemarin? Sekali lagi ia mendengus kesal, kali ini pada dirinya
sendiri.
“Temanmu yang bernama Gaara itu, apa dia kekasih pemuda
Hyuuga itu?” tanya Sai yang kehabisan cemilan manisnya. Apalagi ia mendapati
saudaranya yang terdiam dan sesekali mendengus saat memandang ke kejauhan
tepatnya pada pemuda pirang yang baru tadi pagi dikenalnya. Siapa namanya? Oh,
Uzumaki Naruto.
“Hn.” Hanya itu yang keluar dari mulut sang Uchiha setelah
sekian lama terdiam. Sai tersenyum palsu.
“Lalu,?” tanya Sai.
“Apanya?” Sasuke mengenyitkan alisnya karena tak mengerti
jalan pikiran Sai.
“Pemuda yang mirip himawari(sun flower) itu? Apa dia yang
kau ceritakan kemarin? Kau menyukainya?”
Syuuth! Sebuah
tendangan hampir mengenai kepala Sai kalau saja pemuda itu tak punya refleks
yang bagus untuk mengindari bahaya. Ia kini terduduk di tanah. Wajahnya serius.
Ia kehilangan senyumnya. Tatapannya lurus pada mata onyx Sasuke yang menatapnya
tajam. Tatapan tajam bagai iblis yang murka. Tatapan lapar ingin membunuh. Sai
tak mau mengambil resiko fatal. Ia kini tersenyum palsu seakan tak terjadi
apa-apa.
“Ya, ya, aku minta maaf, Sasuke. Aku takut padamu.
Sungguh..” ucap Sai. Nadanya terbata. Ini bukan sesuatu yang disukainya selama
ini. Mungkin ia suka melihat Sauke marah padanya, tapi bukan yang kali ini.
Bukan tatapan marah yang seakan mau membunuhnya seperti itu. Bukan. Sai
menyukai Sasuke marah padanya yang berarti Sasuke perhatian padanya,bukan murka
yang menakutkan seperti ini. Bukan yang seperti ini. Bukan.
“Aku benar-benar akan membunuhmu suatu saat nanti!” bentak
Sasuke sebelum ia bergegas pergi meninggalkan Sai yang masih terduduk di tanah.
Menatapnya dengan senyum yang dibuat-buat.
“Ayah harus mengajariku cara menghentikan orang yang hendak
membunuhku...” Gumam Sai lalu tersenyum.
~.^...oOo....oOo...^.~
Senja kelam hari itu. Tak ada sinar mentari jingga. Yang ada
hanyalah butiran-butiran es yang disebut salju. Turun tanpa jeda dari langit
yang mendung. Menumpuk menggunung di atas tanah atau di manapun benda putih itu hinggap.
“Hhuuuuffffttthhhh....” uap tipis mengepul dari mulutnya.
Lagi-lagi, ia menganggap uap yang muncul dari napasnya itu menarik. Ya,
hitung-hitung mengusir rasa bosan karena menunggu hujan reda. Naruto saat ini
sedang duduk di anak tangga tak jauh dari pintu keluar sebelah timur gedung
sekolahnya yang mewah itu. Mendongakkan kepalanya dan menghembuskan napas dari
mulut. Sesekali ia tersenyum atau bahkan tertawa kecil.
“Ck. Dobe..” sebuah suara mengagetkannya. Ia tidak menoleh,
tapi tersenyum, ia tahu dari siapa sebutan olok-olok itu berasal dari mulut
siapa.
“Che. Teme!” Naruto membalasnya dengan sedikit berteriak.
Pipinya menggembung ngambek saat menemukan Sasuke yang tersenyum ganjil di
belakangnya. Sasuke mendekat dan duduk di sebelah Naruto. Onyxnya tak bisa
lepas dari saffire Naruto.
“Suaramu itu cempreng Dobe! Telingaku hampir tuli
mendengarnya.” Ujar Sasuke ketus.
“Kalau begitu jangan didengar, Teme!” Naruto tetap setengah
berteriak.
“Sayang sekali aku tak membawa sumbat telinga, Dobe.”
“Huh! Teme!!”
Sasuke mengorek
telinganya. Dan hal itu membuat Naruto kesal. Ia terus memasang ekspresi
ngambeknya yang terlihat lucu bagi Sasuke. Buktinya, Sasuke tersenyum saat itu.
Sadarlah Sasuke, kini kau terlihat seperti Sai. Sasuke mengelengkan kepalanya
tanpa disadari Naruto. Ia benci Sai, jangan sampai ia terlihat jadi seperti
saudaranya itu.
“Naruto..”
“Hm?”
“Terima kasih..”
“Hah?”
“Ck. Dobe!”
“Temee!”
“Hn.”
Hening sejenak.
“Hahahahahaha... Wajahmu memerah Teme!” Naruto tertawa sambil
memegangi perutnya.
“Apa?!”
“Heahahahahahah...”
“Kenapa kau mentertawai orang yang berterima kasih padamu
Dobe?!” bentak Sasuke. Kilat marah terlihat di matanya. Naruto langsung
terdiam. Tapi kemudian tersenyum tulus. Hal itu membuat Sasuke semakin tak
mengenal lawan bicaranya. Ia tak mengerti. Otak jeniusnya tak bisa memproses
hal yang tak terduga seperti ini. Tidak. Naruto terlalu penuh kejutan.
“Ucapan terima kasih di terima Teme. Aku senang kau berubah
dalam semalam. Bukanya kemarin kau bilang ucapan terima kasih itu tidak
penting? Hah, Teme?” ujar Naruto, lalu cekikikan dengan cengiranya yang lebar
itu. Sasuke terdiam. Wajahnya memanas. Ia berbalik membelakangi Naruto. Diam
hingga hatinya. Ia tak tahu harus mengatakan apa untuk membantah. Kenapa
sekarang ia seperti orang bodoh? Apa kebodohan Naruto baru saja menular
padanya? Merusak otaknya dengan cepat seperti virus berbahaya yang menyerang
komputer? Sungguh, Sasuke tak tahu harus berkata apa saat ini. Ia bingung. Tak
dapat konsentrasi. Sepertinya otak jeniusnya benar-benar sudah terinveksi virus
mematikan.
“Hey, Teme? Kau tidak apa-apa? Kau marah, ya? Teme?” tanya
Naruto yang memperhatikan Sasuke hanya diam. Karena Sasuke tak menjawab, ia pun
kesal.
“Temeee..!!”
teriak Naruto sekeras-kerasnya. Tak ada jawaban dari Sasuke. Pemuda Uchiha itu
hanya mengorek kedua telinganya untuk meredam bunyi ‘ngiing’ yang muncul di
telinganya.
“Berisik Dobe.. Telingaku hampir tuli karena suaramu yang
super cempreng itu. Ck.”
“Kau itu Teme..! Ahrrrggghhh...!” Naruto mengerang frustasi.
Kedua tangannya mengepal gemas, kesal pada Sasuke. Sebuah senyum tersungging di
bibir Sasuke. Senyum tulus yang tidak ia sadari. Dia menyukai Naruto. Walau ia
kini terlihat seperti Sai yang ia benci, ia tidak perduli.
“Teme, hujannya sudah reda. Sudah hampir gelap. Kau tidak
mau pulang?” kata Naruto yang sudah berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya seakan
di sana ada debu yang menempel. Karena tak mendapatkan jawaban, pemuda pirang
itu berbalik pada mahluk pucat yang pipinya memerah. Itu bukan semu merah
karena malu atau tersipu. Itu semu merah kerena kedinginan. Kenapa dia jadi
tertarik untuk memandangi wajah pemuda yang masih duduk di anak tangga itu.
Sasuke mengalihkan pandangannya ke arah lain, ke arah luar pintu. Salju memang
sudah tak turun lagi. Tapi jujur saja, walau ia benci mengakui perasaanya, ia
tidak ingin pulang cepat. Ia tidak mau kebersamaannya yang baru sebentar itu
berlalu cepat. Tapi, ia harus apa?
Naruto mendengus karena Sasuke lagi-lagi tak mengeluarkan
suara. Ia kini merasa berbicara dengan Shino yang irit bicara itu. Suasana yang
membosankan baginya yang suka berisik atau bicara tentang basa-basi, yang
penting tidak diam begini. Sudah cukup ia memperhatikan Sasuke yang malah
tenggelam ke dunia lamunannya. Hah! Bosan, ia bosan!
“Hey, Teme, aku pergi ya..?” ucap Naruto sambil beranjak
pergi. Pemuda itu berjalan santai ke arah pintu dengan kedua tangan berada di
saku baju hangatnya. Sebenarnya Naruto masih berat hati kalau harus
meninggalkan Sasuke. Ah, tapi tunggu dulu. Tunggu apakah Sasuke akan
menghentikannya.
Kriieett!
Kenop pintu baru saja diputarnya dan daun pintu baru terbuka
sedikit. Hingga,
“Na-Naruto..” terdengar suara Sasuke yang ragu-ragu.
Oh! Naruto ingin melonjak kalau saja ia tidak tahu malu. Senyum
tersungging di wajah tan itu. Senyum senang yang amat girang. Perlahan ia
kembali berbalik pada Sasuke yang berdiri di tangga. Wajahnya masih tetap
merah. Apa itu karena kulitnya yang terlampau pucat seperti albino? Apa udara
dingin yang menusuk kulitnya membuat pipi wajah tampan itu memerah? Ya. Tak
perlu ditutup-tutupi, Naruto memang mengakui wajah Sasuke itu sangat tampan.
Sangat tampan.
“Ya?” jawab Naruto. Pemuda uzumaki itu berusaha bersikap
biasa di depan Sasuke. Walau di dalam hatinya ia berteriak kegirangan.
“ Hn. Aku kedinginan. Dan sebenarnya aku tidak tahu jalan
pulang. Saudaraku meninggalkanku lagi hari ini.” Ujar Sasuke sembari merapatkan
baju hangatnya. Hening sejenak.
“Bilang dong, Teme. Pantas wajahmu memerah kayak strowberry.
Hahaha” ejek Naruto lalu tertawa renyah.
“Cih!” Sasuke membuang muka dan mendengus. Sejenak ia
langsung menyesali perkataannya kalau
hanya untuk ditertawakan seperti itu.
“Hey, Teme?” panggil Naruto yang ternyata sudah mendekat
padanya. Sasuke tak menjawab. Tiba-tiba, Naruto mengulurkan tangannya dan
memakaikan sesuatu pada kepalanya. Sebuah topi hangat yang langsung menyalurkan
kalor hangatnya pada kepalanya. Daun telinganya yang dari tadi menjerit
kedinginan kini terasa hangat. Wajahnya juga terasa hangat karena melihat wajah
Naruto dari dekat. Wajah penuh senyum tulus yang tak bisa ia dapatkan dari
orang lain. Desir aneh membuatnya merinding.
“Ne, Teme. Kau bisa memakainya sendiri’kan, Teme?” ujar
Naruto sembari menyodorkan baju hangat berwarna hitam pada Sasuke. Sasuke
mengambil baju hangat itu dan memakainya.
“Kau pikir aku bodoh sepertimu , Dobe?” balas Sasuke ketus.
Naruto langsung berkelit marah sambil menunjuk wajah Sasuke yang entah kenapa
jadi sangat menyebalkan itu.
“Dasar Teme!!! Tidak tahu terima kasih!!” teriak Naruto
sekeras-kerasnya. Sasuke hanya tersenyum mengejek. Senyum yang membuat wajah
Naruto merah padam karena marah.
“Akan aku ucapkan kata itu lain kali. Kalau aku sempat.”
Ujar Sasuke dengan entengnya.
“Dasar Teme! Menyesal aku memberikan baju dan topiku padamu,
Teme!”
“Kau tidak boleh menyesal. Baju dan topimu ini baunya aneh.
Apa kau tak pernah mencucinya?”
“Dasar Teme! Baju itu baru dicuci! Baju sewangi itu kau
bilang baunya aneh?! Itu adalah wangi kesukaanku tahu! Itu wangi jeruk! Wangi
jeruk TEMEEEEEEEE...!!” Setelah
meneriakkan itu, napas Naruto terengah-engah. Ia kehabisan napas di udara yang
dingin itu.
“Hn.” Lagi-lagi senyum merendahkan tersungging di wajah
Sasuke. Ia benar-benar sudah berubah jadi seperti Sai yang ia benci itu. Ia
benar-benar merasa senang mendapati Naruto marah seperti itu. Kali ini mungkin
Naruto tak bersuara, Tapi matanya menyiratkan kemarahan yang tiada tara.
Apalagi wajahnya yang benar-benar merah padam.
“Naruto..?” pangil Sasuke.
“Apa?!” jawab Naruto dengan membentak.
“Mau kutraktir ramen?”
“Hah?” Naruto seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya
barusan. Tapi kemudian wajahnya berubah sumringah. Cengiran lebar muncul di
bibirnya. Tanpa ba bi bu, ia langsung menggandeng tangan Sasuke dan menariknya
pergi dari tempat yang sudah sangat sepi itu. Tidak memperdulikan bahwa yang
ditarik memekik karena luka di tangannya masih sakit.
~.^...oOo....oOo...^.~
Klotak!
Sekali lagi terdengar suara mangkuk yang beradu dengan meja.
Naruto baru saja menghabiskan semangkuk ramen porsi jumbo. Ah, itu mangkuk yang
ke empat. Sasuke menelan ludahnya sendiri. Ia benar-benar tak habis pikir kalau
orang yang tubuhnya lebih kecil darinya itu bisa menghabiskan empat mangkuk
ramen, porsi besar lagi. Otaknya tak dapat menerima hal itu. Masuk kemana semua
makananyang di makan Naruto tadi? Uh, Sasuke memijit keningnya degan jari
telunjuknya. Ia sedikit pening bukan karena memikirkan harga yang harus ia
bayar pada pemilik kedai, tapi pada kenyataan kalau ia menyukai orang aneh yang
maniak ramen seperti Naruto itu.
“Terima kasih atas makanannya!” seru Naruto sembari
mengatupkan kedua telapak tangannya di depan wajahnya. Cengiran khasnya
tersungging lebar.
“Terima kasih Sasuke-Teme..
Aku sudah kenyang sekarang!” seru Naruto lalu cekikikan. Sasuke
mendengus kesal. Ia benci pada dirinya sendiri yang kini terlihat tidak normal.
Ah, apa ia baru saja lupa pada harga diri Uchiha yang selalu dijujungnya?
Kenapa seorang Dobe seperti Naruto bisa membelokkan imannya? Bukan hanya bisa
membuat tuan pembenci segala hal yang irit bicara dan pelit senyum itu jadi
bisa menyunggingkan senyum tulus di wajahnya, tapi juga membuatnya menjadi
seorang penyuka laki-laki. Arrrggghhh...!! dalam hatinya Sasuke berteriak
frustasi. Ia benar-benar yakin sekarang kalau otak jeniusnya sudah terinveksi
virus yang berasal dari Naruto yang Bobe itu. Ck! Sasuke benci kenyataan yang
seperti ini. Benar-benar benci karena rasa anehnya itu tumbuh sejak pertama ia
melihat warna biru yang amat disukainya pada mata Naruto, saat pertama kalinya
ia melihat seseorang tersenyum tulus padanya, tertawa terbahak-bahak di
depanya, memberinya cengiran khas, hingga ekspresi ngambek yang begitu imut
menurutnya. Ah, dia jadi aneh karena bertemu Naruto hari itu. Tapi mungkin dia
akan lebih menyesal kalau tak bisa mengenal orang unik itu sekarang.
“Hey, Teme? Kenapa ramenmu masih utuh begitu? Kenapa kau tak
memakannya?” tanya Naruto dengan dengan polosnya. Sasuke menghela napas
panjang.
“Aku tak suka ramen, Dobe. Kau boleh memakanya kalau kau
mau.” Jawab Sasuke. Ia benar-benar sudah kenyang sekarang karena sudah melihat
Naruto makan sebanyak itu.
“Benarkah?! Terima kasih Teme!!” Naruto langsung mengambil
ramen milik Sasuke dan melahapnya dengan cepat, karena itu adalah porsi biasa.
Sasuke tertegun dan menggelengkan kepalanya.
’ Apakah perut Naruto itu terbuat dari karet, hah?’ pikir Sasuke
tak habis pikir.
~.^...oOo....oOo..^.~
Prof. Hatake Kakashi baru saja keluar dari ruangannya.
Sesekali sebelah tangannya memijit pelan pelipisnya yang terasa berdenyut tak
nyaman. Derap sapatu dari pria 40 tahunan itu menggema di koridor sekolah yang
sekarang sudah gelap. Remang-remang karena kebetulan penerangan di tempat itu
rusak dan belum sempat diperbaiki.
Srak! Kakinya
menenendang sesuatu di lantai dan membuatnya terpaksa berhenti. Sebelah matanya
menangkap sebuah bungkusan plastik di lantai. Pria bermasker itu mengambil
bungkusan itu yang ternyata adalah bungkusan Cotton candy. Ia bertanya-tanya
kenapa masih ada juga yang membuang sampah sembarangan? Tiba-tiba ia merasakan
sesuatu yangmembuatnya merinding. Pria itu hampir terlonjak karena kaget. Ia
mendapati Sai yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapannya dengan senyum
palsunya yang terlihat ganjil bagi seorang Hatake Kakashi itu. Sai mengambil
cotton candy yang dipegang Kakashi, merobek bungkusnya dan memakan isinya.
“Apa Sensei mau? Aku tak sengaja menjatuhkanya tadi.” Ujar
Sai sambil menyodorkan cotton candy di tanganya pada Kakashi. Senyum Sai
benar-benar membuatnya merinding.
~.^...oOo....oOo...^.~
Taman bunga matahari. Semerbak dengan harum puspa yang hanya
tumbuh di musim semi jika di Konoha. Sejauh mata memandang, hanya ada warna
kuning dan coklat himawari. Sejauh mata onyx itu memandang, hanya keindahan
yang di tangkapnya. Seekor dua ekor kupu-kupu terbang melewati sang Uchiha yang
masih terpaku dengan keindahan tempat tak dikenalinya itu.
“SASU-TEMEEE....!!!!” teriakan super cempreng yang sudah
amat dikenalinya membuatnya kaget. Ia menoleh ke arah sumber suara. Naruto yang
berlari-lari kecil ke arahnya. Tangan pemuda pirang itu melambai-lambai dengan
semangat kepadanya. Cengiran lebar yang menampakkan barisan gigi-giginya yang
rapi tersungging di bibirnya.
“Teme..?” panggil Naruto yang sudah berdiri di depan Sasuke.
“Hn.”
“Aku mencintaimuuu...!!”
Gubrak!
Sasuke jatuh dari tempat tidurnya.
Selimut tebalnyamenutupi tubuhnya yang kin berada di lantai.
“Ck! Kuso!” umpat Sasuke sambil mengelus-elus pinggulnya
yang terasa nyeri. Oh, apa itu tadi? Mimpi? Ck. Sasuke benci mimpi, apalagi
yang sudah membuatnya terjun bebas dari tempat tidurnya yang nyaman.
Sasuke melempar selimut hangatnya dan
berdiri. Ia melirik jam bekkernya yang baru menunjukkan pukul 05.15. Sasuke
mendengus kesal. Tak biasanya ia bangun sepagi ini. ‘Ini semua karena mimpi
sialan itu!’ rutuk Sasuke dalam hati nya.
~.^...oOo....oOo...^.~
Hari ini entah kenapa ia berjalan sendiri ke sekolah.
Sebenarnya itu karena ia tak menunggu Sai untuk berangkat bersama. Ia benci psikopat
yang selalu menghilang begitu saja tanpa pamit padanya kemarin yang membuatnya
harus menelpon supir untuk menjemputnya setelah makan malam dengan Naruto.
“ITTEEE... SHINOO, AMPUUNN...!!!!”
Sebuah teriakan yang dikenalinya membuatnya menoleh pada
arah suara. Di sana, di tempat kemarin pagi ia menemukan Naruto bersama
sepupunya Sai. Di sana, tampak Naruto yang sedang bermain gulat dengan Shino. Ah,
itu bukan permainan. Shino benar-benar marah karena mendapati Naruto berdua
dengan Shikamaru tanpanya. Kau tahulah, Shino terlalu pencemburu. Pemuda
pencinta serangga itu mencekik Naruto karena marahnya. Tak perduli Shikamaru
dan Neji yang berusaha melepaskannya dari Naruto. Sasuke berdecak hina. Betapa
bodohnya orang-orang itu.
“Jangan jatuh cinta pada pacarku...”
Sebuah suara datar membuatnya sedikit terkejut. Tanpa
berbalik pun ia tahu pemilik suara itu. Pemuda yang berdiri satu meter di belakangnya
itu adalah temannya sendiri. Teman sekaligus rival dalam memperebutkan gelar
juara umum pertama di sekolahnya di Otto. Itu adalah pemilik tatto ‘ai’, Sabaku
No Gaara. Sasuke menghela napas. Mendapati kenyataan bahwa temannya yang satu
ini juga seoarang psikopat berbahaya.
“Pacarmu itu tak menarik bagiku, Gaara..” ucap Sasuke datar
setelah ia berbalik pada pemuda berambut merah itu. Gaara mengangkat bahunya.
“Hm. Apa kau masih tertarik pada wanita? Ah, benar.
Bagaimanapun juga kau harus tertarik pada gadis berambut merah muda yang berisik itu. Dia adalah calon istrimu.”
Oh, betapa menyebalkanya Gaara itu. Kalau Sasuke tak ingat
bahwa Gaara itu satu-satunya temannya yang paling ia anggap, tinjunya pasti
sudah melayang ke rahang Gaara yang kulitnya putih mulus itu. Tidak. Sasuke
terlalu menyayangi saingannya itu, tepatnya, mantan pacarnya. Sasuke menghela
napas panjang.
“Terserahlah, Gaara. Sesukamu..” ucap Sasuke sebelum
beranjak pergi. Gaara terdiam, ia tak berminat beradu argumentasi dengan mantan
pacarnya itu.
~.^...oOo....oOo...^.~
“Naruto...” Sasuke memanggil pelan pemuda pirang pemilik
mata biru saffire yang sedang tergeletak di atas ranjang besi berbalut kasur
yang terbungkus sprei warna putih.
“Nghhh...” Naruto menggeliat manja karena terbangun dari
tidurnya. Matanya yang setengah terbuka menangkap sosok Sasuke yang berdiri tak
jauh darinya. Naruto mendudukan dirinya lalu menguap dan merenggangkan tubuhnya
yang terasa kaku.
“Ne, Sasuke.. hmph!”
Hening. Mata saffire Naruto membulat sempurna. Badannya
menegang. Sadar akan sesuatu yang menempel di bibirnya. Benda hangat, lembut,
dan lembab. Eh, kenapa ia hanya bisa menangkap pipi Sasuke yang merona? Kenapa
wajah itu begitu dekat? Kenapa jantungnya jadi berdebar? Kenapa badannya tak
ingin bergerak?
Perlahan-lahan Sasuke menjauhkan jarak wajahnya dengan wajah
Naruto. Degup jantungnya yang tak beraturan membuatnya hampir tak sadarkan diri. Ia tersenyum manis saat
mendapati wajah bingung Naruto. Ck. Si Dobe itu pasti belum menyadari hal barusan.
Apa otaknya benar-benar ber-IQ rendah?
“Naruto... Aku mencintaimu..” ujar Sasuke pelan. Sorot
matanya yang tajam menyiratkan bahwa ia serius. Naruto memiringkan kepalanya.
Wajahnya masih saja menyiratkan bahwa ia belum
sadar. Sasuke kesal. Ia kembali mengecup bibir Naruto.
“Teme..? itu tadi kau menciumku?” tanya Naruto dengan
polosnya.
“Aku menyatakan cinta, Dobe..” jawab Sasuke dengan
entengnya. Hening sejanak.
“UWAAAAAAA.....!!!! TEEEMMMMEEEEEE....!!!!”
“Hahahahahah....”
~.^...oOoOOoOoOoOoOoOoOo...^.~
To be continue..
Penulis: Shiryu Ayres
Tidak ada komentar:
Posting Komentar