Sabtu, 29 September 2012

TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERUSAHAAN BERDASARKAN UUPPLH





TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERUSAHAAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (UUPPLH)
Oleh: Alvi Syahrin

I. Keberadaan perusahaan dalam masyarakat dapat memberikan aspek yang positif seperti menyediakan barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat maupun lapangan kerja. Dan juga tidak jarang masyarakat mendapatkan dampak buruk dari aktivitas bisnis perusahaan, seperti terjadinya pencemaran lingkungan, eksploitasi besar-besaran terhadap energi dan sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan alam.
Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat yang memunculkan pandangan baru tentang Corporate Social Responsibility (CSR) yang menjadikan korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. Hal ini juga sesuai dengan hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazilia 1992, yang menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sejalan dengan perspektif perusahaan, berkelanjutan diartikan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, yang didalamnya ada lima faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu (1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai keuntungan/manfaat.
Sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial), namun perusahaan bertanggungjawab dengan berlandaskan pada triple bottom line, yaitu finansial, sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup untuk menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable), perusahaan juga harus memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup.
Pengelolaan lingkungan hidup memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya serta perlu dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan, sehingga lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.
Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehingga perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain.
II. Mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana, diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.
Ketentuan Pasal 65 UUPPLH, menetapkan bahwa:
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang undangan.
(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Kemudian, Pasal 66 UUPPLH, menyatakan: setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Ketentuan Pasal 67 UUPLH, menetapkan bahwa, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya, Pasal 68 UUPPLH, menyatakan: setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Ketentuan Pasal 69 UUPPLH, mengatur tentang larangan bagi setiap orang untuk:
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
Larangan untuk melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
Terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, kebanyakan dilakukan dalam konteks menjalankan suatu usaha ekonomi dan sering juga merupakan sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUPPLH, bertujuan:
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.
Kemudian, Pasal 13 UUPPLH, menetapkan bahwa pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup, yang meliputi: a. pencegahan; b. penanggulangan; dan c. pemulihan, yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.
Kapan dimintakannya pertanggung jawaban pidana kepada badan usaha itu sendiri, atau kepada pengurus badan usaha atau kepada pengurus beserta badan usaha, ini menjadi permasalahan dalam praktek, karena dalam kasus lingkungan hidup. ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam struktur usaha dan prilaku/ perbuatan yang secara konkrit telah dilakukan.
III. Tindak pidana di bidang lingkungan hidup biasanya (banyak) yang terkait dengan pengaturan atau berkenan dengan perbuatan pelanggaran atas kebijakan penguasa administratif yang biasanya bersifat preventif, dan terkait dengan larangan bertindan tanpa izin. Hal ini menjadikan muncul pendapat bahwa kewenangan hukum pidana untuk melakukan penyidikan dan pemeriksaan selebihnya hanya akan dimungkinkan jika sarana lain (penegakan hukum lainnya) telah diupayakan dan gagal (daya kerja subsidiaritas hukum pidana).
Memandang ultimum remedium hukum pidana sebagai upaya terakhir, atau penjatuhan pidana jika sanksi-sanksi hukum lainnya (administratif atau perdata) terbukti tidak memadai dalam menanggulangi kasus lingkungan hidup. Pandangan ini tidak sepenuhnya mengandung kebenaran atau mutlak untuk dijalankan, oleh karena bisa terjadi adanya keengganan pihak pemerintah untuk melakukan tindakan administratif atau pemerintah setempat enggan untuk terlibat dalam kasus tersebut karena adanya hubungan kepentingan personal yang mana pengusaha tersebut memiliki hubungan dengan partai politik atau pihak penguasa, apakah tetap melaksanakan hukum pidana sebagai upaya terakhir, sementara telah terjadi pelanggaran terhadap lingkungan bahkan telah menimbulkan kerugian serta memunculkan rasa ketidakadilan.
UUPPLH, dalam penjelasan umumnya, hanya memandang hukum pidana sebagai upaya terakhir (ulmitimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UUPPLH. Sementara untuk tindak pidana lainnya yang diatur selain Pasal 100 UUPPLH, tidak berlaku asas ultimum remedium, yang diberlakukan asas premium remedium (mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum pidana).
Pandangan hukum pidana dapat dipergunakan sebagai instrumen dalam rangka perlindungan terhadap lingkungan hidup, membawa konsekuensi terhadap keterjalinan hukum pidana dengan hukum administrasi.
Keterjalinan upaya penyidikan hukum pidana dengan sarana hukum administrasi (yang lebih cenderung melaksanakan tugasnya dalam rangka prevensi atau memandang pelanggaran masalah lingkungan sebagai yang harus dipecahkan, diberi nasehat dan/atau perbaikan keadaan) akan menjadikan penegakan hukum lingkungan lebih baik jika berjalan dengan bersinergi, atau menjadi kendala jika tidak bersinergi.
Ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam UUPPLH dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi pidana. Untuk membahas tindak pidana lingkungan tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delic species).
Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam 98 UUPPLH sampai Pasal 115 UUPPLH, melalui metode konstruksi hukum dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan yang dilarang) adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”. Rumusan ini dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam ketentuan dalam UUPPLH maupun dalam ketentuan undang-undang lain (ketentuan sektoral di luar UUPPLH) yang mengatur perlindungan hukum pidana bagi lingkungan hidup. Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Tetapi keduanya berbeda dalam memerikan penekanan mengenai suatu hal, yakni dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses menimbulkan akibat.
Pengertian secara otentik mengenai istilah “pencemaran lingkungan hidup”, dicantumkan pada Pasal 1 angka (14) UUPPLH memberikan adalah:
“masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.”
Adapun unsur dari pengertian “pencemaran lingkungan hidup” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (14) UUPPLH, yaitu:
1. masuknya atau dimasukkannya:
- makhluk hidup,
- zat,
- energi,
dan atau
- komponen lain
ke dalam lingkungan;
2. dilakukan oleh kegiatan manusia;
3. melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPPLH di nyatakan bahwa penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan berdasarkan Pasal 1 angka (13) UUPPLH, yaitu: “ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.”.
Baku mutu lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH, meliputi:
a. Baku mutu air;
b. Baku mutu air limbah;
c. Baku mutu air laut;
d. Baku mutu udara ambien;
e. Baku mutu emisi;
f. Baku mutu gangguan, dan
g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan baku mutu air limbah, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, diatur dalam peraturan menteri negara lingkungan hidup.
Penjelasan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH, memberikan penjelasan terhadap maku mutu tersebut, sebagai berikut:
- “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
- “baku mutu air limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air .
- “baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.
- “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.
- “baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara.
- “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan.
Pengertian istilah “perusakan lingkungan hidup” secara otentik dirumuskan dalam Pasal 1 angka (16) UUPPLH, sebagai berikut:
“tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”.
Adapun unsur-unsur “perusakan lingkungan hidup”, sebagaimana terkandung dalam Pasal 1 angka (16) UUPPLH, yaitu:
1. adanya tindakan;
2. menimbulkan:
- perubahan langsung
atau
- tidak langsung
terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan;
3. melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Baku kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 1 angka (15) UUPPLH, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
Baku kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UUPPLH, meliputi baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim, diatur dalam peraturan pemerintah.
Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat (3) UUPPLH, meliputi:
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;
d. kriteria baku kerusakan mangrove;
e. kriteria baku kerusakan padang lamun;
f. kriteria baku kerusakan gambut;
g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selanjutnya, kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut Pasal 21 ayat (4) UUPPLH, didasarkan pada parameter antara lain:
a. kenaikan tempratur;
b. kenaikan muka air laut;
c. badai; dan/atau
d. kekeringan.
Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UUPPLH memberikan penjelasan terhadap maksud “produksi biomassa”, “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa”, “kriteria baku kerusakan terumbu karang”, dan “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan”.
- “produksi biomassa” adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa.
- “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa” adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa.
Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budi daya dan hutan.
- “kriteria baku kerusakan terumbu karang” adalah ukuran batas perubahan fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.
- “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan” adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
Memperhatikan, uraian terdahulu tampak bahwa teknik perumusan tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dalam UUPPLH tidak lagi luas dan abstrak, sebagaimana tercantum dalam UUPLH. Rumusan dalam UUPLH dapat memberi ruang gerak bagi penegak hukum (hakim) untuk melakukan inovasi hukum dalam menafsirkan hukum pidana lingkungan hidup guna merespon perkembangan yang terjadi dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup karena ia (hakim) mempunyai semangat dan kepedulian untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam melindungi lingkungan hidup. Atau, juga dapat menyulitkan penegak hukum pidana lingkungan, sebab jika aparat penenegak hukum (termasuk hakim) tidak peka dalam merespon perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup, dapat memberi peluang bagi penegak hukum untuk menyelewengkan hukum untuk kepentingan lain (“kepentingan pribadi”).
Perumusan tindak pidana pencemaran dan atau kerusakan lingkungan berdasarkan UUPPLH, tidak lagi abstrak dan luas sebagaimana diatur dalam UUPLH, karena UUPPLH telah memberikan kata kunci bagi tindak pidana dan atau kerusakan lingkungan, yaitu: “melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan” atau “melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan”.
Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Ketentuan Pasal 97 UUPPLH, menyatakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai “rechtsdelicten” yaitu tindakan-tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum, walaupun tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang di dalam undang-undang. Kejahatan (rechtsdelicten) merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu yang tidak tergantung dari suatu ketentuan hukum pidana, tetapi dalam kesadaran bathin manusia dirasakan bahwa perbuatan itu tidak adil, dengan kata lain kejahatan merupakan perbuatan tercela dan pembuatnya patut dipidana (dihukum) menurut masyarakat tanpa memperhatikan undang-undang pidana.
Terkait dengan tindak pidana lingkungan yang dinyatakan sebagai kejahatan (rechtsdelicten), maka perbuatan tersebut dipandang sebagai secara esensial bertentangan dengan tertib hukum atau perbuatan yang bertentangan dengan (membahayakan) kepentingan hukum., pelanggaran hukum yang dilakukan menyangkut pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta keharusan untuk melaksanakan kewajiban memelihara lingkungan hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 98 UUPPLH – 115 UUPPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan.
Tindak pidana materiil memerlukan (perlu terlebih dahulu dibuktikan) adanya akibat dalam hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
Tindak pidana formal, tidak memerlukan adanya akibat, namun jika telah melanggar rumusan ketentuan pidana (ketentuan peraturan perundang-undangan), maka telah dapat dinyatakan sebagai telah terjadi tindak pidana dan karenanya pelaku dapat dijatuhi hukuman. Tindak pidana formal dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak pidana materiil jika tindak pidana materiil tersebut tidak berhasil mencapai target bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang berskala ecological impact. Artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana lingkungan yang sulit ditemukan bukti-bukti kausalitasnya.
Tindak pidana formal ini tidak diperlukan akibat (terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan) yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan sebab akibat (causality) dari suatu tindak pidana lingkungan. Hal yang perlu diketahui dalam tindak pidana formal dalam UUPPLH, yaitu, seseorang telah melakukan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan atau izin.
Ketentuan Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2), (3) UUPPLH, jika di simak lebih lanjut mengandung makna selain termasuk delik formal juga delik materiil. Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2), (3) UUPPLH mengatur bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang melanggar baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan, sehingga orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, atau mengakibatkan orang luka berat atau mati. Dalam kasus ini harus dibuktikan hubungan sebab akibat antara perbuatan pelanggaran baku udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan tersebut dengan terjadinya orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian. Akan tetapi, jika ternyata tidak terbukti bahwa terjadinya pelanggaran baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria kerusakan lingkungan menyebabkan orang luka dan atau bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian, maka pelaku dibebaskan dari tindak pidana materiil, namun ia tetap harus bertanggungjawab atas perbuatannya karena melanggar tindak pidana formal.
Terkait dengan tindak pidana yang selain mengandung delik formal dan materiil, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tersebut hendaknya mendakwakan pelaku dengan dakwaan alternatif dan kumulatif. Artinya, jika dakwaan berdasarkan tindak pidana materiil tidak berhasil dibuktikan, maka dakwaan berdasarkan tindak pidana formal dapat dilakukan.
Berdasarkan Pasal 98 UUPPLH sampai dengan Pasal 105 UUPPLH, tindak pidana lingkungan yaitu berupa:
1. Pasal 98 UUPPLH dan Pasal 99 UUPPLH:
a. Pasal 98 ayat (1) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (1) UUPPLH:
melakukan perbuatan:
yang mengakibatkan dilampauinya:
- baku mutu udara ambien,
- baku mutu air,
- baku mutu air laut, atau
- kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
b. Pasal 98 ayat (2) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2) UUPPLH
melakukan perbuatan:
yang mengakibatkan dilampauinya:
- baku mutu udara ambien,
- baku mutu air,
- baku mutu air laut, atau
- kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
yang mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia.
c. Pasal 98 ayat (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (3) UUPPLH:
melakukan perbuatan:
yang mengakibatkan dilampauinya:
- baku mutu udara ambien,
- baku mutu air,
- baku mutu air laut, atau
- kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
yang mengakibatkan orang luka berat atau mati.
Tindak pidana yang dilakukan berdasarkan Pasal 98 UUPPLH dilakukan dengan sengaja, sedangan tindak pidana yang dilakukan dalam Pasal 99 UUPPLH, dilakukan dengan kelalaian.
2. Pasal 100 UUPPLH:
melakukan perbuatan melanggar:
- baku mutu air limbah,
- baku mutu emisi, atau
- baku mutu gangguan
Berdasarkan Pasal 100 ayat (2) UUPPLH, tindak pidana ini baru dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Kemudian, penjelasan umum UUPPLH, menyatakan “… Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan….”, maka untuk tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UUPPLH, berlaku asas ultimum remedium.
3. Pasal 101 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin
- melepaskan dan/atau
- mengedarkan
produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup
4. Pasal 102 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
pengelolaan limbah B3 tanpa izin
5. Pasal 103 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
6. Pasal 104 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin
7. Pasal 105 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
8. Pasal 106 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
9. Pasal 107 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
10. Pasal 108 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
pembakaran lahan
11. Pasal 109 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
12. Pasal 110 UUPPLH:
melakukan perbuatan:
menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal
13. Pasal 111 UUPPLH:
Pejabat:
a. pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL
b. pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan
14. Pasal 112 UUPPLH
Pejabat pengawas:
tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan yang mengakibatkan terjadinya:
– pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia
15. Pasal 113 UUPPLH:
melakukan perbuatan berupa:
a. memberikan informasi palsu,
b. memberikan informasi menyesatkan,
c. menghilangkan informasi,
d. merusak informasi, atau
e. memberikan keterangan yang tidak benar
yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
16. Pasal 114 UUPPLH
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
- tidak melaksanakan paksaan pemerintah
17. Pasal 115 UUPPLH
melakukan perbuatan:
mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil
IV. Pertanggungjawaban pidana suatu badan usaha dalam kasus lingkungan hidup, diatur dalam Pasal 116 UUPPLH. Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH, pertanggungjawaban pidana badan usaha dapat dimintakan kepada badan usaha, dan atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Kemudian, Pasal 116 ayat (2) menetapkan bahwa: “Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.”.
Memperhatikan ketentuan Pasal 116 UUPPLH, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Ketentuan Pasal tersebut menetapkan bahwa disamping orang secara pribadi, tindak pidana lingkungan dapat dilakukan oleh badan usaha.
b. Penyebutan badan usaha menunjukkan bahwa subyek hukum pidana lingkungan adalah badan hukum dan bentuk organisasi lain yang bukan badan hukum.
c. Prinsip dalam pertanggungjawaban pidana badan hukum dan organisasi lain bukan berbentuk badan hukum yang diakui sebagai subyek hukum tersebut, sanksi atau tindakan tertentu dikenakan kepada:
n Badan hukum dan organisasi lain yang bukan badan hukum;
n Mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana;
n Mereka yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.
n Gabungan antara badan usaha dengan baik pemberi perintah atau pimpinan dalam melakukan tindak pidana.
d. Pertanggungjawaban pidana badan hukum dan organisasi lain tersebut, diperluas termasuk juga apabila tindak pidana lingkungan tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum. Tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pimpinan tanpa mengingat hubungan antar keduanya.
e. Pengertian mereka yang bertindak sebagai pimpinan tersebut tidak terbatas hanya pimpinan dalam melakukan tindak pidana lingkungan, tetapi juga diartikan pimpinan ikut bertanggungjawab terhadap akibat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Misalnya: ada orang yang bekerja pada badan hukum atau organisasi lain melakukan suatu perbuatan seperti membuang limbah di suatu tempat yang bukan peruntukannya atau tanpa izin sehingga menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan, maka yang bertanggung-jawab tidak hanya pekerja tersebut, tetapi pimpinannya juga ikut bertanggungjawab atas perbuatan pekerja tersebut, meskipun pimpinan tersebut tindak memerintah dan memimpin pelanggaran tersebut.
Badan usaha juga dianggap telah melakukan tindak pidana lingkungan jika tindak pidana lingkungan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang ada hubungan kerja dengan badan usaha maupun hubungan lain dengan badan usaha, yang bertindak dalam lingkungan (suasana) aktivitas usaha badan usaha (korporasi) yang bersangkutan. Hubungan kerja tersebut merupakan hubungan antara pengusaha/orang perorangan (mempunyai badan usaha) dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja. Dengan demikian, baik badan usaha (korporasi) maupun orang-orang yang memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin dalam lingkungan (suasana) aktivitas usaha korporasi yang bersangkutan, dapat dituntut pidana dan dijatuhi sanksi pidana beserta tindakan tata tertib. Sebaliknya, suatu korporasi juga akan terbebas dari pertanggungjawaban secara pidana atau dianggap tidak bersalah, jika ia (korporasi) bisa membuktikan bahwa korporasi tidak melakukan suatu kesalahan, berhubung orang-orang yang melakukan perbuatan itu tidak ada hubungan kerja atau hubungan lainnya dengan korporasi atau perbuatan itu dilakukan oleh seseorang di luar lingkungan aktivitas usaha korporasi itu.
Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) dan ayat (2) UUPPLH, jika suatu tindak pidana lingkungan dilakukan dilakukan oleh atau atas nama badan usaha maka yang bertanggungjawab secara pidana:
Pertama : bisa badan usaha yang bersangkutan (sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (1)), atau
Kedua : orang-orang (mereka) yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan tindak pidana lingkungan (sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2) UUPPLH, atau
Ketiga : badan usaha bersama-sama dengan yang memberi perintah untuk melakukan tindak, atau badan usaha bersama-sama dengan orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana lingkungan.
Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada badan usaha itu sendiri, atau kepada pengurus badan usaha atau kepada pengurus beserta badan usaha, ini menjadi permasalahan dalam praktek , karena dalam kasus lingkungan hidup. ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam struktur usaha dan prilaku/ perbuatan yang secara konkrit telah dilakukan.
Untuk menghindari kesulitan pembuktian di atas, memang bisa dilakukan dengan meletakkan soal dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum yaitu dengan cara meng-klasifikasikan pelanggaran terhadap kewajiban¬-kewajiban badan hukum untuk melakukan pengawasan serta tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki oleh badan hukum.
Menurut A.L.J. Van Strien, bagaimanapun beratnya akibat/dampak dari kriminalitas lingkungan, kita tetap harus memperhatikan aspek-aspek pembatasan penyelenggaraan kekuasaan dari asas legalitas maupun asas kesalahan. Cara bagaimana kedua asas itu dikonkritasikan, tergantung pada tindak pidana yang dilakukan.
Menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Badan hukum diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindak bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan badan hukum, juga termasuk dalam hal orang (karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindak bersangkutan yang melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun dalam hal yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya.
Selanjutnya, menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum tersebut. Badan hukum secara faktual mempunyai wewenang mengatur/ menguasai dan/atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang.
Badan hukum yang dalam kenyataannya kurang/ tidak melakukan dan/atau mengupayakan kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak terlarang dapat diartikan bahwa badan hukum itu menerima terjadinya tindakan terlarang tersebut, sehingga badan hukum dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Badan hukum dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup mempunyai kewajiban untuk membuat kebijakan/ langkah-langkah yang harus diambilnya , yaitu:
1. merumuskan kebijakan di bidang lingkungan;
2. merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak (pantas) serta menetapkan siapa yang bertang-gungjawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut;
3. merumuskan instruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktifitas-aktifitas yang mengganggu lingkungan dimana juga harus diperhatikan bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yang diberlakukan perusahaan yang bersangkitan;
4. penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.
Jika terhadap kewajiban-kewajiban di atas badan hukum tidak atau kurang memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa badan hukum kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang.
Selanjutnya, untuk menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Apakah kasus tersebut berkenan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tindak pidana;
2. Norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang mengganggu lingkungan;
3. Sifat, struktur dan bidang kerja dari badan hukum tersebut.
Menurut Muladi , berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang berkembang maupun kecendrungan inter-nasional, maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal:
1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya;
2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity);
3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employess) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi¬punishmentprovision);
4. Terdapat kesalahan manajemen Main korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of- a statutory or regulatory provision;
5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggungjawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment yang mengandung pengartian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasan-pembatasan lain terhadap langkah¬-langkah korporasi dalam berusaha;
7. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan;
8. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusalaaan, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepred) oleh korporasi tersebut.
Guna menentukan siapa-siapa yang bertanggung¬jawab di antara pengurus suatu badan hukum yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidana tersebut, harus ditelusuri segi dokumen AMDAL, Izin (lisensi) dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan jabatan yang terdapat pada badan hukum (korporasi) yang bersangkutan. Penelusuran dari dokumen-dokumen tersebut akan menghasilkan data, informasi dan fakta dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauhmana pemantauan dan pengendalian yang telah dilakukan terhadap dampak tersebut. Dari dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban pengurus-pengurus perusahaan tersebut, untuk memantau, mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Sehingga dari penelusuran itu, akan nyata pula apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian.
Memperhatikan ketentuan Pasal 67 UUPPLH dan Pasal 68 UUPPLH yang menetapkan: “kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup” dan “berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”, dan ketentuan Pasal 116 UUPPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan dapat dimintakan kepada para pemegang saham maupun para komisaris ) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.
Badan hukum yang mempunyai kesalahan, harus menanggungnya dengan kekayaannya, dan selanjutnya adanya pengetahuan bersama dari sebagian anggota dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu. Kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringan setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri.
Korporasi dapat mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari operasi/kegiatannya sehari-hari, dengan cara:
l. Memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan biasanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya. Perbaikan terhadap pelanggaran yang telah dilakukan menjadikan diterapkannya asas subsidaritas dalam penegakan hukum pidana.
2. Melakukan perbaikan yang sesegera mungkin terhadap pemberitahuan pelanggaran yang dilakukan dan perbaikan tersebut didokumen¬tasikan dengan baik.
3. Mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instasi) tersebut.
4. Memelihara catatan-catatan secara rinci mengenai pembelian dan pembuangan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang digunakan dalam kegiatan operasional korporasi, sehingga a. catatan pembuangan limbah secara tepat dapat diketahui guna pembelaan terhadap aksi penegakan hukum, dan b. jumlah dan jenis bahan kimia yang digunakan korporasi dapat ditetapkan.
5. Membuang limbah B3 hanya melalui perusahaan pembuangan limbah B3 yang handal dan kredibel, jika mungkin korporasi melakukan daur ulang. – Kontrak dengan pihak yang menangani limbah harus diperiksa dan diteliti oleh korporasi dan konsultan hukumnya guna menjamin bahwa proses penanganan limbah telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
6. Menerapkan suatu program pemenuhan dan pengurangan B3 yang komprehensif, antara lain mencurahkan perhatian dan dana untuk evaluasi atas penggunaan B3 dengan melakukan pembuatan serta penerapan rencana yang komprehensif untuk pengurangan dan pencegahan dari penggunaan B3. Perusahaan memenej, mengukur, meningkatkan dan mengkomunikasikan aspek-aspek lingkungan dari operasi kegiatannya dengan cara yang sistematis.
Direktur tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan, hal ini disebabkan direksi memiliki “kemampuan” dan “kewajiban” untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Untuk menilai apakah direksi melakukan penga-wasan yang cukup terhadap kegiatan-kegiatan (operasional) korporasi, dapat dilihat dari:
a. Partisipasi direksi di dalam penciptaan dan persetujuan atas rencana bisnis korporasi yang ada kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup,
b. Partisipasi aktif di bidang manajemen, khususnya menyangkut kegiatan yang berkaitan dengan B3;
c. Melakukan pengawasan terhadap fasilitas¬fasilitas korporasi secara berulang-ulang;
d. Mengambil tindakan terhadap karyawan/bawahan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
e. Menunjuk/mengangkat individu yang memiliki kualitas dan kemampuan untuk bertanggung¬jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup korporasi;
f. Menunjuk/mengangkat konsultan yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan secara berkala;
g. Permintaan untuk mendapatkan perangkat/ instrumen guna membantu manajemen maupun operasional korporasi dalam mentaati hukum lingkungan;
h. Meminta laporan secara berkala kepada penanggungjawab pengelolaan lingkungan korporasi yang menyangkut pencegahan dan perbaikan.
i. Meminta kepada manajemen korporasi untuk menerapkan program yang dapat meminimalisir kesalahan karyawan dan melaksanakan program penyuluhan.
j. Menyediakan cadangan ganti kerugian yang memadai dalam tanggung jawab korporasi terhadap kemungkinan kerugian lingkungan.
k. Direksi korporasi yang peka terhadap masalah lingkungan harus menguji ganti rugi yang memadai, mencakup tanggung jawab lingkungan secara khusus.
l. Menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap kebijakan tanggung jawab direksi dan pejabat sehingga dari aspek komersil perusahaan asuransi dapat memberi dana yang memadai.
Langkah-langkah yang diambil oleh direksi tersebut di atas dapat mengurangi tanggungjawab lingkungan direksi, setidak-tidaknya tindakan direksi hanya dapat dikategorikan sebagai kealpaan (negligence) bukan kesengajaan.
Dalam perkembangan selanjutnya dapat dikembangkan pemikian bahwa para pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana karena pemegang saham memiliki tanggung jawab untuk mengontrol atau mengarahkan aktivitas korporasi yang membahayakan lingkungan berdasarkan besarnya persentasi saham. Oleh karena itu, bagi pengelola perusahaan yang berpotensi mencemarkan/merusak lingkungan hidup, seyogia saya menetapkan “standard moral bisnis yang tinggi” (high standards of business morality).
Pasal 116 ayat (2) UUPPLH di dalamnya terdapat “prinsip vicarious liability”. Berdasarkan prinsip vicarious liability ini, pelaku usaha dapat dituntut bertanggungjawab atas perbuatannya, termasuk perbuatan orang lain tetapi masih di dalam lingkungan aktivitas usahanya atau akibat yang bersumber dari aktivitasnya yang dapat merugikan orang lain.
Berdasarkan prinsip vicarious liability, pimpinan korporasi atau siapa saja yang memberi tugas atau perintah bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahan atau karyawannya. Tanggung jawab ini diperluas hingga mencakup perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain. Dengan demikian, siapa saja yang bekerja dan dalam hubungan apa saja pekerjaan itu dilakukan, selama hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan korporasi, menjadi tanggung jawab korporasi. Menurut Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, pihak perusahaan yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin, memiliki kapasitas pertanggungjawaban untuk dipidana.
Pasal 116 UUPPLH berfungsi mengantisipasi kemungkinan korporasi bisa berlindung di balik hubungan kontraktual yang dilakukannya dengan pihak lain, kemudian Pasal 116 ayat (2) UUPPLH memberikan perluasan tanggung jawab, sehingga kesimpulan yang dapat diambil dari Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, yaitu:
1. Perbuatan adalah atas nama korporasi.
2. Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain.
3. Bertindak di dalam lingkungan korporasi
Dengan demikian, dilihat dari sudut subjek liabilitynya, makna menurut Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, pihak-pihak yang bertangung jawab adalah :
1. Pemberi perintah atau pengambil keputusan atau yang bertindak sebagai pemimpin.
2. Berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain.
3. Secara sendiri-sendiri atau kolektif/bersama-sama
Perumusan ketentuan pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UUPPLH, mencantumkan unsur sengaja atau kealpaan/kelalaian. Dicantumkannya unsur sengaja atau kealpaan, maka dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban pidana dalam UUPPLH menganut prinsip liability based on fault (pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan). Artinya, UUPPLH menganut asas kesalahan atau culpabilitas.
—o0o–

Tidak ada komentar:

Bisnis Online