Minggu, 19 Januari 2014

Fanfic Naruto: HIMAWARI



Fandom: NARUTO
Disclaimer: MASASHI KISHIMOTO
Rating: T
o
o
o
o
         Salju turun bulan itu, Konoha menjadi tampak seperti sebuah cake yang penuh dengan taburan gula halus. Itu dikarenakan salju turun dengan deras tadi malam. Oh, warga kota kecil itu harus bekerja ekstra berat kali ini. Ya, ini adalah hujan salju terparah musim ini. Begitu parahnya sehingga membuat tuan pembenci segala hal ini badmood di setiap waktu. Pemuda yang memiliki mata hitam kelam itu sedang duduk di beranda samping rumahnya, memperhatikan beberapa orang pekerja yang berusaha memebersihkan halamannya dari tumpukan salju yang menggunung. Sesungguhnya itu bukan tontonan yang menarik bagi tuan muda Uchiha itu, tapi hanya itulah yang ingin dia lakukan saat ini, setelah perjalanan panjangnya dari kota pengasingannya. Entah kenapa pemuda pemilik gaya rambut khas EMO yang mencuat-cuat melawan gravitasi itu menyebut kota tempatnya tumbuh besar dan bersekolah selama hampir  15 tahun adalah kota pengasingan. Hmm, sudah kubilang dia’kan tuan pembenci segala hal. Ya, dan kali ini yang dia benci adalah diseret dari kota pengasingannya yang selalu hangat karena tak pernah turun salju ke kota kelahirannya, Konoha, yang sedang mengalami musim dingin terburuk tahun ini.
         “Kau ingin mati kedinginan? Kau tak memakai baju hangat yang Nii-san berikan?” seorang pemuda yang baru saja muncul dari balik pintu mengagetkanya. Pemuda Uchiha yang bernama lengkap Uchiha Sasuke itu terdiam sejenak. Lalu bergumam dengan dua huruf favoritnya “Hn”. Kakaknya juga bukan pembicara yang baik kalau berhadapan dengan mahluk berkulit pucat seputih salju itu. Mereka jarang bercakap, bertemu saja mungkin hanya setahun sekali kalau Itachi punya waktu untuk pergi ke Ottogakure.
          Sebuah syal biru tua akhirnya melingkar di leher Sasuke yang jujur saja dari tadi sudah menjerit-jerit kedinginan di dalam hatinya.
         “Masuklah,..” hanya ucapan singkat itu yang keluar dari mulut Itachi sebelum ia kembali menghilang di balik pintu. Sasuke mendengus kesal. Ia benci sikap kakaknya yang seperti itu.
~.^...oOo....oOo...^.~
         “NARUTOOO...!!!” sebuah teriakan super keras yang bisa membuat telinga mengeluarkan bunyi ‘ngiing’sukses membuat seorang pemuda yang asyik tertidur langsung jatuh terjungkal dari ranjangnya. Dengan tidak elite tentunya.
         “Mau sampai kapan kamu tidur terus Naruto?! Ayo cepat bangun dan bantu ayahmu memebersihkan tumpukan salju di luar!” sekali lagi wanita bersurai merah sepinggang itu berteriak dengan nada tinggi membangunkan anaknya yang  masih mau malas-malasan di hari yang dingin itu.
         “Kaa-san biarkan aku tidur lima menit lagi..” kata pemuda pirang yang masih setengah mati menahan kantuknya. Ia mengelus-elus jidatnya yang terasa sakit setelah jatuh terjungkal dari tempat tidurnya. Tidak memperhatikan bahwa ibunya sudah mengeluarkan aura membunuh yang sangat mengerikan.
         “Baik, tidurlah lima menit lagi,” Kata wanita yang sebenarnya bernama Kushina itu. Pemuda pirang yang masih setia duduk di lantai itu langsung sumringah dan berdiri.
         “Benar..?” tanya pemuda itu dengan wajah ceria. Mata birunya berbinar-binar.
         “TAPI JANGAN HARAP KAU BISA MAKAN RAMEN LAGI SEUMUR HIDUPMU, NARUTOO!!!!
~.^...oOo....oOo...^.~
         “Huuuuuffffttt...” entah untuk yang kesekian kali dalam pagi ini pemuda 18 tahun itu menghela napas. Ia bukan berkeluh-kesah, melainkan sedang menghibur diri dengan permainan barunya. Ia menganggap udara tipis yang dapat keluar dari mulutnya karena keadaan yang terlampau dingin itu menarik.
         Seorang lelaki berambut pirang yang agak panjang dan memiliki mata biru tersenyum memperhatikan ulah anaknya.
         “Naruto..?” panggil tuan Minato. Yang dipanggil menoleh dengan tatapan heran.
         “Ayo masuk, di sini dingin. Kau tidak mau kena flu’kan..?” kata tuan Minato lalu tersenyum. Suaranya terlalu berwibawa dan menenangkan jiwa.
         “Yoo, tapi aku akan menyelesaikan mengeruk salju sialan yang membuatku harus bangun pagi-pagi sekali ini! Tou-san duluan saja.” Ucap Naruto dengan semangat. Tuan Minato hanya tersenyum menanggapi ucapan anaknya itu kemudian berlalu begitu saja.
         “Kenapa musim dingin kali ini banyak sekali salju yang yang turun sih..?!” teriak Naruto yang dengan semangat mengeruk butiran-butiran es di hadapannya ke sebuah kereta dorong berwarna merah. Saat selesai, napasnya tersenggal-senggal seperti baru melakukan lari keliling lapangan 400 kali.
         “Naruto, kau tampak seperti ikan yang kehabisan air”
 Naruto terkejut dengan suara itu. Ia hampir saja jatuh terjungkal sangking kagetnya.
         “Lee..?” tanya Naruto dengan nada kurang percaya pada pemuda berpakaian norak yang berdiri di luar pagar rumahnya. Pemuda yang senyum lebarnya dapat mengeluarkan bunyi ‘cling’ seperti bintang iklan pasta gigi itu mengangguk-angguk pasti. Mata biru Naruto membulat.
         “ROCK LEEEEEE....!!” teriak Naruto sekeras-kerasnya dan langsung melompat memeluk mahluk dengan hair style batok kelapa itu dengan beringasnya.
         “SEMANGAT MASA MUDA TAK BOLEH DISIA-SIAKAN...!!!”
~.^...oOo....oOo...^.~
         “Kapan kau kembali dari Amegakure, Lee?!” tanya Naruto setengah berseru. Ia sangat senang melihat salah seorang sahabatnya yang sudah lama tak ia temui karena bersekolah di kota lain. Mereka saat ini sedang berada di ruang tamu rumah Naruto.
         “Hehe, aku kembali kemari dua hari lalu. Maaf baru mengunjungimu sekarang, Naruto. Nenekku membuatku sibuk sejak datang. Kedainya membuat semangat masa mudaku bergelora!” Jawab Lee lalu tersenyum. Satu tangannya terkepal tanda ia sangat bersemangat.
         “Eheheh.. Nenek tua itu ku lihat kedainya semakin laris akhir-akhir ini. Kakak Karashi juga kelihatannya lelah sekali melayani para pembeli yang mengantri sangat banyak itu.” Timpal Naruto.
         “Ya, baguslah. Daripada dia hanya mengeluh tiap hari di hari tuanya.” Lee dan Naruto kembali tertawa bersama. Mereka berdua tampak seperti saudara kembar.
         “Bukannya, kare penyambung nyawa legendaris buatan beliau memang selalu laris jika musim dingin atau musim hujan?” sebuah pertanyaan dari seseorang yang suaranya penuh wibawa mendiamkan tawa mereka. Ternyata tuan Minato yang baru saja muncul dari ruang dalam dengan seragam rapi. Naruto dan Lee hanya nyengir-nyengir gak jelas.
         “Ah, begitulah Paman. Ku dengar itu untuk membuat tubuh tetap hangat, dan membakar semangat masa muda!” lagi-lagi Lee bicara yang ujung-ujungnya penuh semangat yang kadang kala mengagetkan orang. Tuan Minato hanya tersenyum.
         “Ah, Naruto. Aku harus pergi. Aku hampir terlambat untuk daftar masuk sekolah musim dingin.” Ujar Lee yang baru saja mengecek arlojinya.
         “Che. Kenapa seperti orang kurang kerjaan sekolah di musim dingin yang jelas-jelas libur?” ucap Naruto dengan sedikit nada malas dan kecewa.
         “Heh! Semangat masa muda tidak boleh disia-siakan, Naruto..! lagipula mengikuti kegiatan seperti ini bisa untuk menambah poin nilai sekolah. Kau jangan malas, Naruto.”
         “Kau’kan tidak sekolah di sini, Lee.”
         “Memang benar. Tapi sekolahku punya sistem yang seperti itu. Sudah, ya. Daa, Naruto, daa Paman, aku akan berkunjung lagi lain waktu!” Tidak terasa ternyat Lee sudah melesat keluar rumah Naruto, membuat yang punya rumah tertegun sejenak.
         “Kau juga, Naruto. Pergilah mendaftar sekolah musim dingin.” Kata tuan Minato. Naruto hanya mendengus malas sambil membenamkan diri ke sudut sofa.
         “Tidak ah. Aku akan menikmati liburku di rumah saja. Sudah cukup setiap hari aku berkunjung sekolah di musim sekolah biasa’kan?”
         Tuan minato hanya mengangkat bahu. Ia berbalik dan mengambil mantelnya yang tergantung di gantungan mantel tak jauh dari jendela.
         “Ayah kerja lagi hari ini.?” Tanya Naruto pada ayahnya yang mulai memakai mantel berbulu tebal. Tuan Minato mengangguk mengiyakan. Pria yang bekerja sebagai detektif itu masih berkutat dengan mantelnya.
         “Lucu kau menanyakan itu, Naruto.” Ujar tuan Minato yang sudah bersiap untuk berangkat. Mendengar itu Naruto hanya nyengir lima jari khasnya desetai tawa.
~.^...oOo....oOo...^.~
         “Sasuke, kau mau tambah jus tomatnya, sayang..?” tanya Nyonya Mikoto dengan lembut. Yang ditanya hanya ber’HN’ ria karena masih berkutat dengan sarapan pagi kesukaanya. Sebenarnya Sasuke benci mengakui kalau ia menyukai sesuatu. Itu semua karena harga diri Uchiha yang terlampau tinggi tumbuh di hatinya. Uchiha itu terlampau aneh karena kehormatannya. Orang-orang yang duduk bersamanya dalam acara makan pagi itu tahu apa yang dimaksudnya. Sungguh, ‘hn’ itu adalah dua kata turun-temurunyang  slalu dipakai oleh seorang Uchiha. Uchiha yang terhormat.
         “Baiklah..” ucap nyonya Mikoto kemudian menuangkan jus tomat kedalam gelas Sasuke.
         “Aku juga mau,Bu..” kata Itachi sembari menyodorkan gelasnya yang kemudian terisi penuh jus tomat.
         “Sasuke, Otto itu’kan tropis, tapi kenapa kulitmu masih tetap pucat begitu?” kata seorang pemuda bekulit pucat yang duduk di samping Itachi. Secara fisik, pemuda itu hampir serupa dengan Sasuke ataupun Itachi sendiri, yang membedakan hanya gaya rambutnya dan senyuman khas yang diakuinya sebagai senyum palsu tak bisa lepas dari bibirnya. Senyum  itu juga dibenci oleh Sasuke, sama seperti Sasuke membenci saudara sepupunya yang bernama Sai itu. Karenanya Sasuke hanya diam sembari menikmati jus tomat kesukaanya.
         “Sasuke mana punya waktu untuk berjemur. Bukannya kau tahu sendiri kalau Sasuke itu tidak suka matahari yang menyengat kulitnya? Dia pasti lebih memilih mengurung diri di kamar sambil membaca setumpuk buku.” Ujar Itachi dengan santainya. Yang dibicarakan tidak bergeming pura-pura tidak mendengarkan, padahal ia benci kakaknya berbicara panjang dengan orang macam Sai. Ia mengutuk Sai dalam hatinya saat melihat sepupunya itu tersenyum padanya dengan senyum palsunya. Itu adalah senyum yang aneh bagi seorang Sasuke, dan Sasuke sungguh paham kalau seorang Uchiha seharusnya tak tersenyum seperti itu. Bahkan Uchiha harunya tak tersenyum.
         “Hn. Benar juga.. Sasuke itu, tuan pembenci segala hal.” Kata Sai yang masih menyunggingkan senyum khasnya. Ia tahu Sasuke kesal karena pemuda yang duduk tepat di hadapannya itu tampak mendengus.
         “Sasuke, ada benarnya kalau sekali-kali kau berjemur. Kau tidak kasihan pada kulitmu yang semakin hari terus memucat begitu, hmm?” kata nyonya Mikoto dengan lembut. Tangannya baru saja dapat meraih jemari Sasuke yang tampak semakin kehilangan pigmen kulitnya.
         “Hn. Akan kulakukan kapan-kapan...” kata Sasuke dingin,”bersama ayah..” sambungnya. Semua orang terdiam, mereka tahu bahwa hal itu tak mungkin. Tuan Fugaku terlalu sibuk mengurusi bisnisnya, tak akan ada waktu kalau hanya untuk berjemur bersama keluarga. Bahkan pagi ini pun, tuan Fugaku tak dapat makan pagi bersama mereka karena masih berada di luar negri untuk mengurusi bisnisnya. Dan kalau benar Sasuke hanya akan berjemur kalau bersama ayahnya, maka besar kemungkinan Sasuke tak akan bisa melakukanya selamanya.
~.^...oOo....oOo...^.~
         “Hey, Sasuke.. Kau tidak ingin jalan-jalan bersamaku..?” suara lembut Sai sedikit mengagetkanya. Lagi-lagi Sasuke hanya menjawab dengan ‘Hn’.
         “Hari mungkin dingin, tapi sepertinya salju tidak akan turun. Ini sudah tiga hari sejak kau datang. Mau sampai kapan mengurung diri terus?” ucap Sai lagi yang duduk dengan nyaman di bibir ranjang berbedcover biru tua dengan lambang Uchiha di tengahnya. Sasuke yang duduk di belakang meja belajarnya masih suka berkutat dengan kalender yang ada di depannya. Sai mulai merasa kesal karena tak dianggap. Tanpa sadar tanganya meraih sebuah bantal dan dilemparkannya bantal itu ke arah Sasuke. Puuk! Bantal itu dengan cantiknya mengenai kepala Sasuke.  Dan ‘pak!’ sebuah buku tebal dengan mulus mencium dahi Sai yang membuatnya lengsung roboh ke belakang.
         “Kau merusak tatanan rambutku..” ketus Sasuke yang kembali merapikan rambut gaya emonya yang orang-orang bilang lebih mirip ekor ayam itu.
         “Aduh.. Kau kejam, Sasuke..” ucap Sai yang mengusap-usap dahinya yang kini memerah di atas kulitnya yang pucat itu. Saat ia bangkit, senyumnya yang khas tersunggung di bibirnya. Sasuke mendengus, benar-benar tidak suka senyum itu. Dan Sai selalu tahu itu.
         “Itu salahmu..” ucap Sasuke dengan tatapan tajamnya.
         “Tapi kau harus tanggung jawab, kau sudah membuat dahiku memerah. Kau pikir ini tidak sakit?”
         “Cih! Pergilah jangan ganggu aku.”
         “Jadi begitu, ya? Tuan Uchiha yang terhormat lari dari tanggung jawab..”
         Sebuah buku kembali melayang ke arah Sai, tapi kali ini tidak berhasil mengenainya. Sai tersenyum penuh kemenagan dengan senyum palsunya saat melihat Sasuke mengeluarkan deathglarenya yang mengerikan. Ah, Sai sudah biasa menghadapi itu. Ia sudah kebal.
~.^...oOo....oOo...^.~
         “UAPAA?! JANGAN BERCANDA DONG INO-CHAAN...!!!” teriakkan itu membahana ke seluruh sudut kota. Teriakan super cemprang itu siapa lagi kalau bukan milik Uzumaki Naruto.
         “Kalau mau teriak kira-kira donk!!” teriak gadis berambut pirang yang tadi disebut bernama Ino tepat di telinga Naruto. Tanganya juga langsung menjitak kepala kuning Naruto.
         “Itte itte itte..” pekik Naruto.
         “Kalau kau tidak mau, akan ku adukan pada bibi Kushina biar kau tidak bisa makan ramen lagi selama setahun!” teriak Ino lagi.
         “Tapi ini penyiksaan, Nee...” Naruto mulai memasang ekspresi menangisnya yang mengenaskan. Cuma orang kejam yang tudak tersentuh dengan ekspresi memelas anak kucing kecebur got yang minta dipungut itu. Tidak juga Ino. Ino menghela napas panjang menghadapi ulah saudara sepupunya itu.
         “Baiklah.. Kau kerjakan setengah saja.” Ucap Ino setelahnya.
         “Yeeiii...!” sorak Naruto dengan girangnya. Ia bahkan melompat-lompat tak karuan seperti orang bodoh. Ino hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
         “Cepat kerjakan!” bentak Ino. Naruto langsung kembali menghadap saudara sepupunya itu dengan cengiran lima jari khasnya.
         “Serahkan padaku!” ucap Naruto dengan semangat berapi-api.
Ting tung! Terdengar suara bel pintu. Ino langsung sumringah dan tanpa ba bi bu ia langsung melesat ke dalam rumah meninggalkan Naruto yang heran dengan sikap sepupunya itu. Ia berkedip-kedip cepat sebelum tersadar dari cengoknya.
         “Apa-apaan itu..?” tanya Naruto entah pada siapa. Tak ada jawaban membuat Naruto ikut terdiam. Ia kini lebih tertarik memandangi setiap celah halaman belakang rumah sepupunya itu dibanding mengerjakan tugas mengeruk salju yang entah kenapa akhir-akhir ini selalu ia kerjakan.
         “Huuufffttt... Harusnya aku terima saja ajakan Lee untuk sekolah musim dingin daripada setiap hari harus mengeruk salju yang tak ada habisnya ini..” ucap Naruto lirih. Ia mulai mengeruk salju dengan sedikit malas-malasan.
~.^...oOo....oOo...^.~
         “Kau mengajakku keluar dingin-dingin begini hanya untuk makan cotton candy..?” tanya Sasuke setengah tak percaya pada Sai yang berjalan di sampingnya.
         “Kenapa? Apa tuan muda Uchiha seperti kita tidak boleh makan barang murahan begini?” tanya Sai dengan santainya lalu menikmati cotton candynya lagi. Sasuke mendengus kesal dan itu membuat Sai tersenyum penuh kemenagan.
         “Sekali-kali, kita juga harus jadi orang biasa.” Ucap Sai lagi tanpa menghilangkan senyum di wajahnya.
         “Hn.”
         “Sayang sekali, ya, cotton candy tidak ada yang rasa tomat. Kalau ada, akan kubelikan untukmu..”
         “Cih!”
Sai tergelak. Ia tertawa kecil. Memang hal inilah yang dia sukai dalam hidup. Menggoda saudaranya dan membuatnya marah itu terlihat sangat menarik.
         Mereka berhenti di depan sebuah gedung sekolah yang cukup besar. Ternyata mereka sudah cukup jauh menyusuri trotoar dalam acara jalan-jalan itu.
         “Apa yang kau lihat?” tanya Sasuke saat melihat Sai tampak kagum pada beberapa orang pemuda yang lalu lalang di balik gerbang sekolah itu. Sasuke benci Uchiha yang mengagumi sesuatu. Sai berbalik dan tersenyum padanya.
         “Ada sekolah musim dingin.” Jawab Sai pada akhirnya.
         “Memang siapa yang cukup bodoh sekolah di musim dingin? Apalagi, ini musim liburan.” Ucap Sasuke ketus sebelum ia mendengus kesal.
         “Aku tidak tahu.. Di Kirigakure tidak ada sekolah musim dingin. Tapi, menurutku ini menarik. Daripada hanya berdiam diri di rumah seharian selama musim dingin, bukankah lebih baik kita mengikuti kegiatan yang  berguna?”
         “Hn. Aku benci dingin yang menusuk kulitku..” ucap Sasuke dan beranjak pergi.
         “Memang apa yang tidak kau benci di dunia ini?” Ucap Sai dengan sedikit mengejek. Sasuke tidak menggubrisnya dan terus berjalan pergi.
         “Mulai besok, ayo kita ikut sekolah musim dingin..” ucap Sai yang masih berdiri di depan pintu gerbang. Samar-samar ia bisa mendengar Sasuke berkata ‘Hn’ di kejauhan sana. Sai hanya tersenyum tanpa niat untuk mengejar saudaranya itu.
         “Semoga kau tahu jalan pulang, Sasuke..”
~.^...oOo....oOo...^.~
         “Hachiiihhh...”  sekali lagi Sasuke tidak bisa menahan rasa gatal di hidungnya, udara dingin terus menusuk hingga dalam baju hangatnya. Kalau ia terus berada di tempat dingin itu dan tak bisa menemukan jalan pulang, ia benar-benar akan terserang flu yang memalukan. Berkali-kali ia merapatkan baju hangatnya dan menggosok telapak tangannya agar sedikit hangat.
         “Awas saja kalau aku sudah sampai di rumah,Sai. Aku akan membunuhmu.. sialan..!” umpat Sasuke yang berjalan menunduk, berusaha agar tetap hangat. Kini ia benci pada ponselnya yang tertinggal di rumah. Andai saja ia tidak lupa membawa ponselnya, keadaannya tak akan seperti itu. Kalau saja ponselnya ada, ia hanya tinggal menelpon ke rumahnya dan minta seseorang menjemputnya. Tapi sekarang ini, Sasuke hanya bisa berandai-andai. Dan dia juga benci hal itu.
Bruk! Seseorang menabrak Sasuke yang langsung membuatnya jatuh ke samping.
         “Maaf.. maaf,, Aku buru-buru..!” ucap orang yang menabrak Sasuke sambil terus berlari meninggalkan Sasuke yang belum sadar sepenuhnya dengan apa yang baru saja terjadi.
         “Ugghh! Sialan!” umpat Sasuke yang masih terduduk di aspal. Kini ia menyesal kenapa tadi tidak memakai sarung tangan, setelah kedua telapak tangannya tampak mengeluarkan darah segar. Sesuatu benda berwarna hitam tampak menancap di telapak tangan kirinya. Rasa perih kini menjalar hingga ubun-ubunnya. Tak pernah ada yang membiarkannya terluka sampai seperti ini. Tapi sekarang dia sendiri. Dia benci sesuatu melukai kulitnya.
         “Hey, kau tidak apa-apa...?” ucap seseorang. Sasuke mendongakkan kepalanya ke arah suara. Seorang pemuda pirang bermata biru yang begitu indah berdiri tak jauh dari tempatnya terduduk. Sasuke diam saja sampai pemuda itu meletakkan barang-barangnya dan mencoba meraih tangan Sasuke. Sasuke menjauhkan tangannya dan berdiri.
         “Hey, setidaknya bersihkanlah lukamu itu..” ucap Naruto.
         “Hn” Sasuke berbalik dan beranjak pergi.
         “Ohh.. jadi kau lebih suka lukamu infeksi dan tanganmu membusuk..?” ucap Naruto dengan santainya. Tanpa sadar kaki Sasuke langsung memaksanya mendekat dan kedua tangannya terulur ke arah Naruto. Gurat cemas sedikitnya tersirat di wajah stoic Sasuke. Naruto tergelak,  tertawa nyaring. Dan itu membuat Sasuke membencinya dalam waktu dekat.
         Naruto mencuci luka Sasuke menggunakan air mineral yang di bawanya. Dan untungnya ia baru saja disuruh membeli perlengkapan kotak P2(pertolongan pertama)oleh Ibunya, jadi ia tak harus susah-susah mencari sesuatu untuk membalut luka orang yang dari tadi diam tak mau menyebutkan namanya itu.
         “Baiklah, sudah selesai..” ucap Naruto yang baru saja selesai membalut luka Sasuke.
         “Hn.” Ucap Sasuke. Naruto mengenyitkan dahinya karena tak mengerti apa yang dimaksud pemuda di depanya itu.
         “Hn itu apa? Bicara yang  jelas donk. Apa mulutmu juga terluka?” tanya Naruto. Dan Naruto kembali mendapatkan jawaban dengan dua kata yang entah kenapa jadi dibencinya.
         “Uhh.. Aku sumpahi  tanganmu akan membusuk kalau kau diam saja atau bergumam dengan dua huruf itu, apalagi kau tak mengucapkan kata terima kasih padaku..” kata Naruto lalu menggembungkan pipinya dan melipat kedua tangannya di dada, tanda bahwa ia sedang ngambek. Sasuke mendengus. Ia benci kalau harus mengucapkan kata ‘terima kasih’. Uchiha tidak mengucapkan terima kasih yang tidak penting.
         “Aku tidak terbiasa mengucapkan kata tidak berguna itu..” ucap Sasuke pada akhirnya. Nada angkuh menyertai kalimat itu.
         “Apa? Kau bilang tidak berguna? Terima kasih itu salah satu dari tiga kata paling indah tahu..!”
         “Aku tidak perduli itu!”
         “Dasar! Apa orangtuamu tak pernah mengajari cara bersopan santun pada orang lain hah?!”
         Sasuke membuang muka dan sedikit menunduk. Mulutnya yang terkatup rapat membuat Naruto sedikit merasa bersalah. Ia takut mengatakan hal yang salah. Bagaimana kalau pemuda itu tak mempunyai keluarga apalagi orangtua? Naruto mengutuk dirinya sendiri karena ulahnya itu.
         “Ehh, baiklah lupakan saja. Aku Naruto Uzumaki, siapa namamu?” ucap Naruto sambil menyodorkan tangannya hendak menyalami, tak lupa juga ia memasang cengiran khasnya. Sasuke menatap tajam pada Naruto. Hal itu membuat Naruto menepuk dahinya sendiri karena menyadari kebodohanya.
         “Ehehehe.. Maaf, maaf. Aku lupa kalau aku baru saja membalut tanganmu yang teluka, hahaha...” ujar Naruto lalu tertawa. Jemari tangan kanannya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
         “Sasuke, namaku Uchiha Sasuke..” jawab Sasuke dengan nada datar.
         “Eh? Uuu.? U Apa tadi namamu..?” tanya Naruto lagi yang tidak fokus mendengarkan Sasuke menyebutkan namanya. Sasuke mendengus kesal.
         “Cih! Dobe!” ucap Sasuke ketus. Naruto langsung berkelit marah.
         “Siapa yang kau sebut ‘Dobe’?!” teriak Naruto sambil menunjuk hidung Sasuke dengan jari telunjuknya.
         “Kau, Dobe..” ucap Sasuke gejek.
         “Cih! Temee..!” teriak Naruto. Dan terjadilah perang mulut di antara mereka berdua. Saling ejek dengan sebutan-sebutan merendahkan. Hingga..
Kruuukruk...
         Salah satu perut dari mereka berbunyi. Hening sejenak.
         “HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHA....!!” tawa Naruto meledak dan membahana di setiap sudut gang sempit itu. Ia masih terus tertawa geli tanpa memperdulikan wajah Sasuke yang memerah semerah tomat karena malunya. Kini Sasuke membenci perutnya karena berbunyi dengan tidak elite. Sasuke sebisanya membenamkan wajahnya yang memerah ke dalam syal biru tua yang melingkar di lehernya. Cih! Uchiha tidak boleh menunjukkan ekspresi memalukan seperti itu.
         “Ehehehe.. hihihi...” Naruto masih saja tertawa sekeras apapun ia mencoba menguasai rasa geli yang mengelitiki perutnya, hingga tenggorokannya pun rasanya sakit karena tawa itu.
         “Berhenti tertawa, Dobe!” bentak Sasuke yang kini berubah marah.
         “Ehehe.. Maaf, aku tidak tahan.. hahaha..!” ucap Naruto di sela-sela tawanya. Sasuke benar-benar marah sekarang. Bagaikan terlihat empat siku merah yang membentuk perempatan jalan muncul di kepalanya. Ia mengeluarkan aura membunuhnya yang mengerikan. Deathglare ala Sasuke membuat Naruto merinding dan menelan paksa ludahnya yang mengering karena tertawa tadi.
         “Ehe, ya, ya, baiklah aku minta maaf, T-teme..” ucap Naruto takut-takut. “Habisnya kalau lapar, bilang dong, Teme.” Sambungnya.
         “Hn.”
         “Ayo, aku akan mentraktirmu makan..”
         Naruto mengemasi barang-barangnya sebelum kemudian berdiri. Senyumnya yang tulus tersungging untuk Sasuke. Sebenarnya hati Sasuke berteriak untuk menolak, tapi tubuhnya baru saja mengiyakan ajakan Naruto. Seakan tersihir atau terhinotis oleh sesuatu..
~.^...oOo....oOo...^.~
Klotak. Klotek. Klotak. Klotek.
          Berkali-kali Sasuke menjatuhkan sumpitnya. Tangannya yang masih terasa nyeri kalau ditekuk membuatnya tidak leluasa memegang benda kecil itu. Sampai sekarang pun ia belum berhasil memakan sesuap pun ramen yang mengepulkan uap di hadapannya itu. Naruto yang memperhatikan itu hanya bisa tersenyum geli. Sebenarnya Naruto sedang menunggu Sasuke menyerah karena dengan angkuh ia menolak tawaran bantuan darinya.
         “Hhhh..” Sasuke mendengus kesal. Ia sudah menyerah menghadapi sumpit sialan di hadapanya itu. Kini Sasuke membenci sumpit.
         “Sudah aku bilang’kan..” ucap Naruto dengan nada mengejek.
         “Cih! Aku tidak mau makan. Aku tidak lapar..” sepersekian detik setelah ucapan Sasuke itu, bunyi perutnya kembali terdengar. Ia langsung tertunduk menyembunyikan wajah merahnya, sedangkan Naruto mati-matian menahan tawanya. Sasuke ingin sekali melemparkan sesuatu pada pemuda pirang di hadapanya itu, kalau saja tangannya tidak sakit.
         “Teme, benar kau tidakmau aku suapi? Tampaknya kau sudah sangat kelaparan” kata Naruto sambil memanas-manasi Sasuke dengan melahap ramennya dan menunjukkan bahwa makanan itu benar-benar nikmat. Kalau saja Sasuke bukan seorang Uchiha yang terhormat, ia pasti akan menelan ludah dengan ekspresi mengenaskan.
         “Naruto-kun, kalau dia tidak mau kau yang menyuapinya, serahkan saja padaku..” kata Ayame, putri paman Teuchi atau yang lebih dikenal sebagai pemilik kedai ramen itu. Sasuke memandang ngeri pada gadis manis itu saat ia berkedip nakal padanya. Cih! Sasuke benci kedipan mata nakal para gadis.
         “yosh! Ayame-nee..! boleh saja.”  Kata Naruto kemudian tertawa.
         “Dobe...”
Naruto kini merinding mendapati deathglare Sasuke. Untung saja ia tidak langsung  jatuh terjungkir karena pemandangan mengerikan itu. Sungguh salah tingkahnya karena takut.
~.^...oOo....oOo...^.~
         “Aaakh.. Teme, ayo, aaa..” bujuk Naruto sembari mengarahkan sumpit penuh mie ke arah mulut Sasuke yang terkatup rapat-rapat. Tatapan tanpa ekspresi Sasuke seakan menusuk mata safire Naruto. Tapi entah mengapa Naruto seakan tak menyadari itu. Ya, tapi itu hanya menurut Sasuke, karena pada kenyataanya Naruto berkeringat dingin dipandangi seperti mau ditelan hidup-hidup begitu. Naruto hanya mencoba mengalihkan perasaannya, agar tak mati berdiri karena takut.
         “Ahh! Aku makan sendiri saja..” ucap Naruto setengah berteriak kemudian benar-benar melahap ramen itu, sampai habis tentunya.
         “Dobe..”
         “Terima kasih untuk makanannya...” seru Naruto sembari mengatupkan kedua tangannya di depan dada, tidak lupa dibumbui cengiran khasnya.
Triiing!
        Lonceng yang di pasang di pintu kedai berbunyi saat Naruto membukanya dan berbunyi kembali saat pintu itu tertutup. Naruto bersenandung ria saat meninggalkan tempat itu, hampir tak memperhatikan Sasuke yang berjalan lima langkah di belakangnya. Tapi sebenarnya ia tidak sepenuhnya tidak sadar kalau Sasuke mengikutinya. Ia hanya mencoba mengalihkan perhatiannya dari pemuda pemilik mata onyx itu. Kegiatan itu berlangsung sampai mereka melewati beberapa blok. Dan rumah Naruto sudah terlihat dari situ. Naruto menyerah dari tekadnya untuk tak menggubris pemuda yamg sebelum keluar dari Ichiraku Ramen’s sudah ia suruh pulang. Naruto berbalik dengan cepat ke arah Sasuke yang tetap berada lima langkah dibelakangnya. Tampang curiga dipasangnya pada wajahnya yang imut itu.
         “Hey, Teme.. Aku sudah menyuruhmu pulang’kan? Kenapa malah mengikutiku?!” tuduh Naruto sambil menunjuk-nunjuk Sasuke. Sasuke hanya terdengar menghela napas panjang.
         “Siapa yang mengikutimu? Aku sedang mencari jalan pulang.” Begitulah harga diri Sasuke menyuruhnya bicara. Walau dalam hati ia ingin meminta tolong untuk mengantarnya pulang ke rumahnya yang ia tidak tahu di mana tempatnya sekarang. Ia benar-benar mengutuk Sai yang meninggalkanya sendirian di tempat yang tak pernah ia tinggali seumur hidupnya, yang ia ingat tentunya.
         “Hmmm...” Naruto memasang ekspresi berpikir lama sekali sampai seseorang tiba-tiba datang dan menggelayut dilengan Sasuke. Ia sedikit kaget melihat hal itu.
         “Sasuke-kuun... Aku merindukanmu..” kata gadis bersurai merah muda yang menggelayut di lengan sasuke dengan manjanya, tak memperdulikan Sasuke berusaha melepaskan cengkramannya. Kini ia berpikir bahwa ia bisa meninggalkan Sasuke dengan tanpa diikuti lagi. Tapi dalam hatinya ia merasa berat melangkahkan kakinya meninggalkan tempat  Sasuke itu.
~.^...oOo....oOo...^.~
         “Oh, Sai.. Kenapa bisa kau kehilangan Sasuke? Bagaimana kalau dia tersesat? Bagaimana kalau terjadi apa-apa? Bagaimana kalau seseorang bertindak jahat padanya?” tanya nyonya Mikoto dengan nada cemas. Jemari-jemarinya meremas sebuah sapu tangan hingga tak berbentuk. Sai hanya tersenyum palsu seperti biasanya.
         “Sudahlah, Mikoto-san, bukankah Sasuke itu sedah besar? Dia pasti sudah bisa menjaga dirinya dengan baik, apalagi dia mengikuti pelatihan bela diri sejak kecil...” kata seorang pria berkulit pucat berambut hitam panjang yang dibiarkan tergerai. Pria bermata ular itu menyentuh bahu nyonya Mikoto untuk menenangkanya. Ialah Orochimaru, ayahnya Sai.
         “Tapi, Orochi-san, aku tetap cemas.. dia tidak mengenal kota ini..” ucap nyonya Mikoto lagi. Gurat cemas malah bertambah di wajah cantiknya.
         “Aku sudah menyuruh orang untuk mencarinya, kau tenanglah sedikit..” ucap Orochimaru kembali menenangkan. Sekilas ia menatap Sai yang masih menyunggingkan senyum palsu di wajahnya. Ia menghela napas  Menahan diri agar tak langsung berteriak pada anak semata wayangnya itu.
Klek! Pintu ruang santai itu terbuka dan menampilkan sosok pria paruh baya yang wajahnya penuh dengan bekas luka. Semua pandangan tertuju pada kepala keamanan khusus kediaman Uchiha itu.
         “Saya hanya ingin melaporkan bahwa tuan muda Sasuke sudah kembali.. Beliau ada di depan sekarang.” Kata Danzou, begitu mereka menyebut kepala keamanan bertampang  sangar itu. Wajah nyonya Mikoto langsung terlihat senang. Ia langsung pergi menemui orang yang ia tunggu-tunggu. Memang benar nyonya Mikoto menemukan putra bungsunya di ruang tamu, Sasuke yang memasang wajah kesal karena seseorang berpakaian perawat memegang tangannya yang dibalut perban.
         “Sasuke..!” panggil nyonya Mikoto sembari memelik anaknya.
         Orochimaru yang memperhatikan dari jauh tersenyum walau dengan senyumnya yang mengerikan. Ia kemudian berbalik pada Sai yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Menyadari bahwa ayahnya memasang ekspresi mengerikan, Sai langsung tersenyum palsu.
         “Ayah ingin bicara padamu, Sai..”
~.^...oOo...oOo...^.~
         “Sasuke-kuun...!”
         Ugh! Sasuke hampir menusuk telinganya sampai tuli kalau mendengar suara itu.  Suara dari gadis bersurai merah muda yang berlari-lari kecil ke arahnya. Sasuke mendengus kesal karena melihat gadis paling dibencinya muncul lagi dalam dua hari ini. Oh, Sasuke ingin bunuh diri jika ia ingat bahwa gadis itu sudah dijodohkan denganya sejak kecil. Sai yang dari tadi duduk melukis tak jauh dari Sasuke memperhatikan ekspresi mengenaskan saudara sepupunya itu dengan pandangan tak mengerti.
         “Selamat pagi, Sasu-kuun.. Hai, Sai-kun..” seru Sakura sembari melambaikan tangannya. Wajahnya sumringah sekali hari ini walau Sasuke hanya diam, dan Sai hanya tersenyum padanya.
         “Wah, kalian sedang melukis, ya,,? Sai-kun, lukisanmu bagus! Untukku yaa? Waw, ini lukisan wajah Sasuke! Kau harus memberikanya padaku Sai-kun!” oh, centilnya Sakura. Ia bahkan histeris kalau mendapatkan segala sesuatu mengenai Sasuke. Dan Nona manja satu ini harus mendapatkan apapun yang dia mau. ‘Tidak boleh tidak’ adalah hukum dari Seorang Sakura yang tidak boleh digangu-gugat. Karenan itulah Sasuke benar-benar yakin bahwa ia membenci mahluk itu.
         “Sasuke-kuun.. Kenapa diam saja sih..?” protes Sakura yang merasa didiamkan saja dari beberapa menit lalu. Sasuke tidak menjawab, ia langsung berdiri. Begitu juga Sai yang ternyata dengan terpaksa harus merapikan perlengkapan melukisnya lagi. Mereka berdua langsung pergi begitu saja meninggalkan Sakura yang berdiri diam dengan pandangan tak mengerti.
~.^...oOo....oOo...^.~?
         “Kalau kau meninggalkanku lagi seperti kemarin, aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu..” ancam Sasuke yang berjalan berjejer dengan Sai di trotoar. Sai tersenyum seperti biasanya.
         “Ada satu hal yang terbalik, Sasuke, kaulah yang meninggalkan aku kemarin itu.” Ucap Sai dengan santainya. Sasuke mengenyitkan dahinya sebelum mengeluarkan deathglare andalanya pada Sai. Tapi Sai hanya tergelak dan tertawa kecil.
         “Akuilah, tuan muda Uchiha yang terhormat..” ejek Sai. Sontak sebuah tas selempang mendarat di kepalanya dan hampir membuatnya jatuh terjungkir ke jalan raya.
         “Ugh! Itte..” pekik Sai sembari memegangi kepalanya. Oh, Sai, sadarilah bahwa Sasuke hobi melemparkan sesuatu padamu.
         “Kaulah yang neminta hal itu. Mau yang lebih buruk?” kata Sasuke sembari mengeluarkan deathglarenya yang mengerikan. Sai menahan napas. Keringat dingin mengalir dari poninya.
~.^...oOo....oOo...^.~
         “Narutoo.. ayo cepat nanti kita terlambat!” teriak seorang pemuda norak dengan potongan rambut batok kelapa. Siapa lagi kalau bukan Rock Lee. Pecinta Thai Boxing itu sedang lari di tempat menunggu Naruto keluar dari rumahnya. Tak lama kemudian pemuda pirang yang ditunggunya keluar rumahnya dengan keadaan acak-acakan, berlari melompati pintu pagar dan terus saja tanpa berhenti. Sekarang dia yang bingung.
         “Ayo cepat larii Leee...!!!” teriak Naruto di kejauhan.
         “??” Lee cengok.
         “NARUTOOO...!!” teriakan super cempreng hampir membuat Lee yang belum juga beranjak dari tempatnya lari jatuh terjungkir. Dilihatnya Kushina di depan pintu dengan aura membunuh. Melihat hal itu Lee menelan ludahnya dengan paksa dan langsung berlari super cepat menyusul Naruto yang sudah begitu jauh meninggalkannya.
         “Huuuhh... huh.. huh.. huh... hah... hah.... hosh hosh hosh hosh haaaaaa......hhh...” Naruto roboh di tanah dengan napas nyaris putus karena terus berlari tanpa henti dari rumahnya ke sekolah, padahal jarak rumah dengan sekolahnya sejauh 5 blok. Ia masih terus terlentang di rerumputan bercampur salju itu untuk menarik napas agar ia tidak mati saat itu juga. Matanya terpejam. Tidak perduli lagi pada beberapa orang teman satu sekolahnya lewat di dekatnya, di jalan semen tentunya.
         “Huuhh.. Mengerikan...”
         Ucapan seseorang  yang Naruto rasa tidak jauh darinya menarik perhatianya. Naruto kini duduk, matanya membulat mendapati seorang pemuda seumurannya sedang membungkuk tak jauh dari sebatang pohon yang memang tak jauh dari Naruto. Tangan kiri pemuda itu memegang batang pohon dan tangan kanannya berada di lutut menyangga berat badannya. Naruto tidak mengerti kenpa pemuda itu juga terlihat ngos-ngosan seperti dirinya.
        “Heh, apa kau bilang tadi..?” tanya Naruto ingin tahu. Pemuda berkulit pucat itu mengankat wajahnya menatap Naruto. Entah kenapa Naruto merasa pernah melihat orang ini.
         “Ngh..? Tidak ada apa-apa kok...” kata Sai lalu tersenyum palsu. Ia kembali berdiri tegak setelah napasnya terasa lebih ringan. Jujur saja, ia baru saja berlari meninggalkan Sasuke yang sedang marah. Deathglare yang dikeluarkan pemuda Uchiha itu terlalu mengerikan hingga menakuti seorang Sai yang terkenal kebal.
         “Oh..” hanya itu yang keluar dari mulut Naruto sebelum ia berdiri dan menepuk-nepuk bajunya yang kotor karena salju. Ia juga kembali memebenarkan topi hagatnya yang hampir terlepas dari kepalanya. Kemudian entah kenapa ia nyengir pada orang yang belum ia tahu namanya itu. Sai pun membalasnya dengan senyumnya yang biasa.
         “Kau, sepertinya bukan orang sini. Aku belum pernah melihatmu.” Ujar Naruto dengan wajah serius. Sai tersenyum palsu.
         “Memang bukan. Aku tidak tinggal di sini. Aku hanya liburan.” Jawab Sai tanpa menghilangkan senyumnya.
         “Oh. Namaku Uzumaki Naruto! Salam kenal!” seru Naruto lalu nyengir lima jari khasnya. Sai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
         “Aku, Uchiha Sai.. Dan, ya, salam kenal..” agak canggung Sai mengatakan hal itu. Selama ini setiap orang yang di temuinya jika sudah tahu ia berasal dari kalangan orang terlalu kaya pasti lagsung menjaga jarak. Tapi entah kenapa ia tak menemukan hal itu dari seseorang bernama Uzumaki yang tersenyum tulus padanya itu.
         “Narutooo...!” teriakan ala petarung kurang kerjaan membuat Naruto dan Sai menoleh ke arah pintu gerbang. Ternyata Lee sudah berhasil menyusul. Ia melambaikan tangannya dengan semangat ke Naruto, tapi bukan itu yang dilihat Naruto saat itu. Ia melihat sosok pemuda yang berjalan berjejer dengan Lee. Pemuda berstyle rambut ekor ayam. Ah, itu pemuda yang kemarin membuatnya tak bisa tidur. Dan hal yang tak disadari Naruto saat itu adalah wajah pucat Sai yang menjadi semakin pucat.
         “Larimu cepat sekali Naruto. Dan kau keterlaluan membiarkan aku melihat ibumu yang mengeluarkan aura membunuhnya.” Kata Lee saat ia dan Sasuke sudah berada di dekat Naruto dan Sai. Naruto tertawa renyah.
         “Hahaha.. Aku’kan sudah menyuruhmu lari. Selebihnya itu salahmu sendiri.” Kata Naruto lalu kembali tertawa, tak memperdulikan Sasuke yang mendengus kesal. Sasuke baru saja menemukan sesuatu yang bisa dibencinya, tawa Naruto.
         “Ah, Naruto kuperkenalkan kau dengan temanku.” Seru Lee.
         “Aku bukan temanmu!” ketus Sasuke setengah berteriak. Ia juga benci mahluk norak di sampingnya itu. Lee langsung menunduk lemas.
         “Ya, ya Sasuke. Walau kita pernah satu Dojo, kau memang tak pernah menganggapku teman, hueee...” entah kenapa Lee sudah nangis di pojokan dengan air mata deras dan latar belakang langit mendung. Dan Naruto juga di sana menepuk-nepuk punggung Lee untuk menenengkan sahabatnya itu. Sedangkan Sai memasang senyum palsunya menanggapi hal konyol yang dilihatnya itu. Ah, konyol.
~.^...oOo....oOo...^.~
         Angin semilir membelai lembut rambut Sasuke, membelai poni Naruto yang tak tertutup topi hangat. Mata safirenya menatap onyx kelam Sasuke. Sebuah senyum tipis tersungging ganjil di sudut bibir Sasuke.
         “Hay.. Kita ketemu lagi...”
~.^...oOo....oOo...^.~
         “KYAAA... KYAAAA... KYAAAAA... \(*o*)/”
         Teriakan para gadis membuat seorang guru berambut perak tajam menggeleng-geleng frustasi. Pasalnya, sebagai guru ia seperti tak dianggap oleh para muridnya. Padahal ia adalah salah satu dari dari dua guru killer paling disegani seantero jagat KONOHA HIGH SCHOOL. Hal yang membuat guru berpenampilan harajuku Itu frustasi adalah karena tanggapan para murid gadisnya terhadap dua murid pendatang  yang baru masuk. Salah satunya adalah siapa lagi kalau bukan mister sempurna, tuan muda Uchiha yang terhormat, Uchiha Sasuke. Berkali-kali ia mendengus kesal. Telinganya hampir tuli mendengar teriakan norak para gadis. Pembuat onar sekolah musim dingin yang satunya lagi adalah pemuda pemilik manik jade yang punya tatapan pembunuh, barsurai merah bata, dan punya hiasan warna hitam pada kelopak matanya yang membuat kesan cool. Ia juga mempunyai tatto dengan huruf kanji terbaca ‘AI’ di pelipisnya. Hanya dengan sekali tatap ia bisa membunuh seorang gadis. Untungnya belum jatuh korban hari itu. Dan Yang paling penting dari seorang bernama Sabaku No Gaara itu adalah ia merupakan putra walikota Sunagakure.
         Hatake Kakashi, begitu yang tercantum di nametag  yang digunakan pria bernasker yang mempunyai dua mata berbeda warna itu. Ia sedang berdiri di depan kelas dengan kedua tangan terlipat di dada seperti yang dilakukan Gaara saat ini. Membiarkan keributan terjadi dikelasnya. Tapi lama-lama ia naik darah juga. Sebuah twich merah bertengger di kepalanya.
PRAANNGGG!!!!
         Sebuah kursi melayang keluar jandela. Menghancurkan kaca jendela itu hingga berkeping-keping, sungguh tak berbentuk lagi. Sungguh kursi dan jendela yang malang. Semua mulut terkatup rapat. Hening. Deathglare Kakashi menyeruak ke seluruh sudut kelas. Bagaikan melihat kemarahan iblis, hampir semua murid dalam kelas itu memucat seperti mayat mengalahkan pucatnya Sai, kecuali Sasuke, Gaara, Sai, seorang pemuda bernama Hyuuga Neji, dan seorang pemuda berambut gaya mahkota nanas yang sedang asyik tertidur, serta seorang pemuda misterius yang memakai tudung  jaket dan kacamata hitam. Ahh.. Inilah akibatnya kalau berurusan dengan guru killer.
         “Terima kasih atas ketenanganya, mari kita mulai pelajaran hari ini.” Kata Kakashi dengan tenang. Sebuah buku tebal bertuliskan KIMIA ia buka kemudian ia menuliskan sesuatu di white board tanpa memperdulikan sebagian murid-muridnya yang masih pucat pasi di belakang sana.
~.^...oOo....oOo...^.~
         Ruang kantin sekolah yang besar itu tampak sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang menghuni beberapa bangku kosong di sana untuk makan siang. Sekolah misim dingin kali ini, banyak murid Konoha High Shcool yang tidak ikut berpartisipasi. Mungkin karena udara dingin musim ini yang terlalu dingin. Di sudut utara ruang persegi itu, terlihat Naruto bersama beberapa temannya. Mereka baru saja selesai makan. Terlihat dari beberapa nampan berisi piring dan gelas kotor di depan masing-masing orang. Kecuali Lee.
         “Huuuhhh... Guru Kakashi tetap mengerikan seperti dulu, ya, Naruto?” kata Lee di sela-sela kegiatan makan siangnya. Sepiring nasi dengan kare yang dinamai ‘Kare Penyambung Nyawa’ baru saja ludes dilahapnya beberapa detik yang lalu. Naruto hanya tertegun dengan mulut ternganga. Pasalnya dia tahu, bekal makan Lee yang tidak biasa itu bisa membunuh seseorang karena rasa pedasnya yang kelewat batas maksimum kemampuan manusia biasa.  Sungguh Naruto mengagumi sahabatnya itu sekarang.
         “Hey! Naruto!” panggil Lee yang menemukan Naruto memandang kagum ke arahnya. Ah, entah apa yang terlewat. Tiba-tiba mereka sudah saling peluk dengan air mata yang bercucuran dan latar belakang ‘langit senja di pantai yang diwarnai deburan ombak’. Sungguh pemandangan layak sensor.
         “Ahh, medokusai..” desah malas itu terdengar dari pemuda berambut nanas yang belakangan diketahui bernama Nara Shikamaru.
         “Mereka tidak berubah, ya? Masih saja lebay seperti dulu.” ujar seorang pemuda berambut coklat dengan tatto segitiga merah terbalik di masing-masing pipinya. Inuzuka Kiba, begitu mereka menyebutnya. Pemuda yang taringnya terlihat panjang itu memandang ngeri melihat pemandangan di depannya.
         “Cih! Entah kenapa aku jadi malu dan heran, kenapa tuhan menakdirkan aku untuk menjadi salah satu sahabat mereka.” Ucap Neji dengan nada datarnya.
         “Jangan membicarakan soal takdirmu di sini, Neji..” seorang pemuda misterius lain menimpali. Nametag yang terpasang di jaketnya mungkin sengaja dipasang agar orang lain tak perlu menanyainya soal nama, karena ia hanya akan bicara kalau ia ingin. Pemuda irit bicara itu bernama Aburame Shino. Dan sebenarnya ia juga merasa aneh, kenapa orang sejenius dia, Neji, dan Shikamaru bisa jatuh hati untuk menjadi sahabat Naruto. Dan anehnya hal itu berlangsung sejak mereka masih di taman kanak-kanak. Pemuda sensitif ini bahkan sedikit cemburu melihat Naruto dan Lee saling berpelukan. Bukan karena ia menyukai Naruto dalam artian lain, tapi itu semua karena sifatnya yang memang sedikit egois untuk sesuatu yang bisa diklaim miliknya, termasuk Naruto yang adalah sahabatnya. Ia juga akan cemburu bila teman-temanya yang lain dekat dengan orang lain yang bukan dirinya. Alhasil karena kecemburuan dan sedikit ketersinggungannya, berbatang-batang sumpit beserta tempatnya melayang menghujami Naruto dan Lee. Oh, pandanglah dethglare ala Shino yang mengerikan itu. Dan ya, hampir seluruh pengunjung kantin yang menyaksikan keributan itu langsung merinding ngeri melihat deathglare Shino. Semua orang juga tahu peraturan untuk ‘tidak mengambil sesuatu milik Shino’ atau nyawamu melayang dengan cuma-cuma.
         “Itte! Shino kejam!” sungut Naruto sambil memasang ekspresi ngambek. Ah, kalian pasti sudah tahu bagaimana ekspresi ngambek Naruto yang imut itu. Ya, kedua tangan yang terlipat di dada, pipi yang menggembung dan bibir yang manyun beberapa senti. Itu adalah jurus terampuh untuk menenangkan psikopat macam Shino. Ah, lagi-lagi Shikamaru merapal mantranya ‘medokusai’ dan Neji yang menggeleng pelan, lain halnya dengan Kiba yang tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
         “Ng.” Hanya itu yang keluar dari mulut Shino.
         “Uwaah.. Ternyata Shino masih mencintaiku sepenuh hati..!” air mata Lee bercucuran deras seperti air terjun dengan lebaynya.
         “Ck! Hentikan wajah mengenaskan itu, Lee! Kau membuatku hampir mengeluarkan kembali makanan yang yang baru ku makan.” Ucap Neji dengan ketus. Mahluk jenius satu ini memang  tak menyukai Lee karena sikap lebaynya yang sudah tak tertolong lagi.  Oh, neji ingin bunuh diri saat itu juga, karena keadaan Lee malah jauh lebih mengenaskan lagi. Pasalnya, Lee menatapnya dengan mata berkaca-kaca ala anak kucing kecebur got minta dipungut yang bagi Neji, wajah itu lebih hancur dari sebongkah tahu yang ditabrak kereta api ekspres. Hal itu bahkan membuat Kiba yang dari tadi tertawa  jatuh kejengkang dari kursinya.
         “Medokusai..”  keluh Shikamaru yang tidurnya terganggu. Tiba-tiba..
KYAAA..!! KYAAA...!!! KYAAA...!!!
         Teriakan memekakan telinga dari para gadis terdengar saat sosok pemuda tampan memasuki ruang kantin. Seseorang berambut merah bata. Tatapan pembunuh pemuda itu ternyata tak menakuti para gadis yang entah sejak kapan begitu menggilainya. Gaara benar-benar ingin membunuh mereka semua kalau ia tidak ingat ada hukum di dunia ini. Pemuda pemilik tatto ‘AI’ di pelipisnya itu berjalan menuju Naruto dan teman-temannya yang jadi terdiam karena kedatangannya yang begitu heboh itu. Pemuda itu duduk di pangkuan Neji yang kebetulan duduk di ujung bangku. Sebelah tanganya bahkan melingkar di leher Neji. Entah kenapa hal itu membuat gadis-gadis yang meneriakinya langsung kehilangan suara. Pucat pasi bagai melihat setan. Lalu menghilang begitu saja. Tapi hal itu ternyata berdampak juga pada Naruto, Lee, dan Kiba. Mereka bertiga kompak menatap Gaara dengan pandangan tak terdefenisi. Yang paling mereka tatap adalah tangan kiri Neji yang meyangga punggung Gaara. Seakan tak keberatan dengan perlakuan Gaara pada pemuda bermarga Hyuuga itu.
         “Oh, Neji.. Sekolahmu benar-benar mengerikan.” Ujar Gaara dengan nada dingin. Manik jadenya menatapi satu-satu pandangan aneh yang diberikan teman-teman Gaara padanya.
         “Apa?” satu kata yang keluar dari mulut Gaara membuat Naruto, Lee, dan Kiba menelan ludah paksa, tak berani mengeluarkan suara karena tatapan membunuh milik Gaara.
         “Medoukusai, Gaara. Bermesraan boleh saja tapi jangan di tempat umum.” Ujar Shikamaru lalu menguap.
         “Apa itu masalah untukmu?” tanya Gaara dengan nada datar. Mata tajamnya bertemu-tatap dengan mata Shikamaru yang entah kenapa jadi tajam juga. Kegiatan saling tatap itu akhirnya membuat Neji jengah juga. Ia menurunkan Gaara dari pangkuannya dan menarik pemuda ‘panda’ itu keluar dari ruangan kantin tanpa bersuara.
         Kepergian mereka dari kantin ternyata diperhatikan oleh dua sosok pemuda berkulit pucat. Sasuke dan Sai sedang berdiri di dekat sebatang pohon yang tak memiliki daun. Sai sedang asyik tersenyum dan sesekali memakan cotton candy di tangannya. Sedangkan Sasuke memperhatikan wajah Naruto dari  jauh. Wajah imut Naruto yang sedang bicara dengan teman-temannya dengan ekspresi polos seperti anak kucing. Tak ada senyum atau tawa dari bibir Naruto. Yang Sasuke lihat hanya wajah ketidakpercayaan terhadap sesuatu. Kali ini, hal itulah yang dibenci Sasuke. Selama berada di sekolah sampai siang ini, ia belum mendapati Naruto tersenyum padanya seperti hari pertama mereka bertemu. Sasuke mendengus kesal. Kenapa ia tak menghampiri Naruto dan bicara dengannya di sana? Bolehkan ia membenci dirinya sendiri yang tak punya keneranian untuk menghampiri orang yang menolongnya kemarin? Sekali lagi ia mendengus kesal, kali ini pada dirinya sendiri.
         “Temanmu yang bernama Gaara itu, apa dia kekasih pemuda Hyuuga itu?” tanya Sai yang kehabisan cemilan manisnya. Apalagi ia mendapati saudaranya yang terdiam dan sesekali mendengus saat memandang ke kejauhan tepatnya pada pemuda pirang yang baru tadi pagi dikenalnya. Siapa namanya? Oh, Uzumaki Naruto.
         “Hn.” Hanya itu yang keluar dari mulut sang Uchiha setelah sekian lama terdiam. Sai tersenyum palsu.
         “Lalu,?” tanya Sai.
         “Apanya?” Sasuke mengenyitkan alisnya karena tak mengerti jalan pikiran Sai.
         “Pemuda yang mirip himawari(sun flower) itu? Apa dia yang kau ceritakan kemarin? Kau menyukainya?”
Syuuth! Sebuah tendangan hampir mengenai kepala Sai kalau saja pemuda itu tak punya refleks yang bagus untuk mengindari bahaya. Ia kini terduduk di tanah. Wajahnya serius. Ia kehilangan senyumnya. Tatapannya lurus pada mata onyx Sasuke yang menatapnya tajam. Tatapan tajam bagai iblis yang murka. Tatapan lapar ingin membunuh. Sai tak mau mengambil resiko fatal. Ia kini tersenyum palsu seakan tak terjadi apa-apa.
         “Ya, ya, aku minta maaf, Sasuke. Aku takut padamu. Sungguh..” ucap Sai. Nadanya terbata. Ini bukan sesuatu yang disukainya selama ini. Mungkin ia suka melihat Sauke marah padanya, tapi bukan yang kali ini. Bukan tatapan marah yang seakan mau membunuhnya seperti itu. Bukan. Sai menyukai Sasuke marah padanya yang berarti Sasuke perhatian padanya,bukan murka yang menakutkan seperti ini. Bukan yang seperti ini. Bukan.
         “Aku benar-benar akan membunuhmu suatu saat nanti!” bentak Sasuke sebelum ia bergegas pergi meninggalkan Sai yang masih terduduk di tanah. Menatapnya dengan senyum yang dibuat-buat.
         “Ayah harus mengajariku cara menghentikan orang yang hendak membunuhku...” Gumam Sai lalu tersenyum.
~.^...oOo....oOo...^.~
         Senja kelam hari itu. Tak ada sinar mentari jingga. Yang ada hanyalah butiran-butiran es yang disebut salju. Turun tanpa jeda dari langit yang mendung. Menumpuk menggunung di atas tanah atau di manapun benda  putih itu hinggap.
         “Hhuuuuffffttthhhh....” uap tipis mengepul dari mulutnya. Lagi-lagi, ia menganggap uap yang muncul dari napasnya itu menarik. Ya, hitung-hitung mengusir rasa bosan karena menunggu hujan reda. Naruto saat ini sedang duduk di anak tangga tak jauh dari pintu keluar sebelah timur gedung sekolahnya yang mewah itu. Mendongakkan kepalanya dan menghembuskan napas dari mulut. Sesekali ia tersenyum atau bahkan tertawa kecil.
         “Ck. Dobe..” sebuah suara mengagetkannya. Ia tidak menoleh, tapi tersenyum, ia tahu dari siapa sebutan olok-olok itu berasal dari mulut siapa.
         “Che. Teme!” Naruto membalasnya dengan sedikit berteriak. Pipinya menggembung ngambek saat menemukan Sasuke yang tersenyum ganjil di belakangnya. Sasuke mendekat dan duduk di sebelah Naruto. Onyxnya tak bisa lepas dari saffire Naruto.
         “Suaramu itu cempreng Dobe! Telingaku hampir tuli mendengarnya.” Ujar Sasuke ketus.
         “Kalau begitu jangan didengar, Teme!” Naruto tetap setengah berteriak.
         “Sayang sekali aku tak membawa sumbat telinga, Dobe.”
         “Huh! Teme!!”
Sasuke mengorek telinganya. Dan hal itu membuat Naruto kesal. Ia terus memasang ekspresi ngambeknya yang terlihat lucu bagi Sasuke. Buktinya, Sasuke tersenyum saat itu. Sadarlah Sasuke, kini kau terlihat seperti Sai. Sasuke mengelengkan kepalanya tanpa disadari Naruto. Ia benci Sai, jangan sampai ia terlihat jadi seperti saudaranya itu.
         “Naruto..”
         “Hm?”
         “Terima kasih..”
         “Hah?”
         “Ck. Dobe!”
         “Temee!”
         “Hn.”
Hening sejenak.
         “Hahahahahaha... Wajahmu memerah Teme!” Naruto tertawa sambil memegangi perutnya.
         “Apa?!”
         “Heahahahahahah...”
        “Kenapa kau mentertawai orang yang berterima kasih padamu Dobe?!” bentak Sasuke. Kilat marah terlihat di matanya. Naruto langsung terdiam. Tapi kemudian tersenyum tulus. Hal itu membuat Sasuke semakin tak mengenal lawan bicaranya. Ia tak mengerti. Otak jeniusnya tak bisa memproses hal yang tak terduga seperti ini. Tidak. Naruto terlalu penuh kejutan.
         “Ucapan terima kasih di terima Teme. Aku senang kau berubah dalam semalam. Bukanya kemarin kau bilang ucapan terima kasih itu tidak penting? Hah, Teme?” ujar Naruto, lalu cekikikan dengan cengiranya yang lebar itu. Sasuke terdiam. Wajahnya memanas. Ia berbalik membelakangi Naruto. Diam hingga hatinya. Ia tak tahu harus mengatakan apa untuk membantah. Kenapa sekarang ia seperti orang bodoh? Apa kebodohan Naruto baru saja menular padanya? Merusak otaknya dengan cepat seperti virus berbahaya yang menyerang komputer? Sungguh, Sasuke tak tahu harus berkata apa saat ini. Ia bingung. Tak dapat konsentrasi. Sepertinya otak jeniusnya benar-benar sudah terinveksi virus mematikan.
         “Hey, Teme? Kau tidak apa-apa? Kau marah, ya? Teme?” tanya Naruto yang memperhatikan Sasuke hanya diam. Karena Sasuke tak menjawab, ia pun kesal.
         “Temeee..!!” teriak Naruto sekeras-kerasnya. Tak ada jawaban dari Sasuke. Pemuda Uchiha itu hanya mengorek kedua telinganya untuk meredam bunyi ‘ngiing’ yang muncul di telinganya.
         “Berisik Dobe.. Telingaku hampir tuli karena suaramu yang super cempreng itu. Ck.”
         “Kau itu Teme..! Ahrrrggghhh...!” Naruto mengerang frustasi. Kedua tangannya mengepal gemas, kesal pada Sasuke. Sebuah senyum tersungging di bibir Sasuke. Senyum tulus yang tidak ia sadari. Dia menyukai Naruto. Walau ia kini terlihat seperti Sai yang ia benci, ia tidak perduli.
         “Teme, hujannya sudah reda. Sudah hampir gelap. Kau tidak mau pulang?” kata Naruto yang sudah berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya seakan di sana ada debu yang menempel. Karena tak mendapatkan jawaban, pemuda pirang itu berbalik pada mahluk pucat yang pipinya memerah. Itu bukan semu merah karena malu atau tersipu. Itu semu merah kerena kedinginan. Kenapa dia jadi tertarik untuk memandangi wajah pemuda yang masih duduk di anak tangga itu. Sasuke mengalihkan pandangannya ke arah lain, ke arah luar pintu. Salju memang sudah tak turun lagi. Tapi jujur saja, walau ia benci mengakui perasaanya, ia tidak ingin pulang cepat. Ia tidak mau kebersamaannya yang baru sebentar itu berlalu cepat. Tapi, ia harus apa?
         Naruto mendengus karena Sasuke lagi-lagi tak mengeluarkan suara. Ia kini merasa berbicara dengan Shino yang irit bicara itu. Suasana yang membosankan baginya yang suka berisik atau bicara tentang basa-basi, yang penting tidak diam begini. Sudah cukup ia memperhatikan Sasuke yang malah tenggelam ke dunia lamunannya. Hah! Bosan, ia bosan!
         “Hey, Teme, aku pergi ya..?” ucap Naruto sambil beranjak pergi. Pemuda itu berjalan santai ke arah pintu dengan kedua tangan berada di saku baju hangatnya. Sebenarnya Naruto masih berat hati kalau harus meninggalkan Sasuke. Ah, tapi tunggu dulu. Tunggu apakah Sasuke akan menghentikannya.
Kriieett!
         Kenop pintu baru saja diputarnya dan daun pintu baru terbuka sedikit. Hingga,
         “Na-Naruto..” terdengar suara Sasuke yang ragu-ragu.
         Oh! Naruto ingin melonjak kalau saja ia tidak tahu malu. Senyum tersungging di wajah tan itu. Senyum senang yang amat girang. Perlahan ia kembali berbalik pada Sasuke yang berdiri di tangga. Wajahnya masih tetap merah. Apa itu karena kulitnya yang terlampau pucat seperti albino? Apa udara dingin yang menusuk kulitnya membuat pipi wajah tampan itu memerah? Ya. Tak perlu ditutup-tutupi, Naruto memang mengakui wajah Sasuke itu sangat tampan. Sangat tampan.
         “Ya?” jawab Naruto. Pemuda uzumaki itu berusaha bersikap biasa di depan Sasuke. Walau di dalam hatinya ia berteriak kegirangan.
         “ Hn. Aku kedinginan. Dan sebenarnya aku tidak tahu jalan pulang. Saudaraku meninggalkanku lagi hari ini.” Ujar Sasuke sembari merapatkan baju hangatnya. Hening sejenak.
         “Bilang dong, Teme. Pantas wajahmu memerah kayak strowberry. Hahaha” ejek Naruto lalu tertawa renyah.
         “Cih!” Sasuke membuang muka dan mendengus. Sejenak ia langsung  menyesali perkataannya kalau hanya untuk ditertawakan seperti itu.
         “Hey, Teme?” panggil Naruto yang ternyata sudah mendekat padanya. Sasuke tak menjawab. Tiba-tiba, Naruto mengulurkan tangannya dan memakaikan sesuatu pada kepalanya. Sebuah topi hangat yang langsung menyalurkan kalor hangatnya pada kepalanya. Daun telinganya yang dari tadi menjerit kedinginan kini terasa hangat. Wajahnya juga terasa hangat karena melihat wajah Naruto dari dekat. Wajah penuh senyum tulus yang tak bisa ia dapatkan dari orang lain. Desir aneh membuatnya merinding.
         “Ne, Teme. Kau bisa memakainya sendiri’kan, Teme?” ujar Naruto sembari menyodorkan baju hangat berwarna hitam pada Sasuke. Sasuke mengambil baju hangat itu dan memakainya.
         “Kau pikir aku bodoh sepertimu , Dobe?” balas Sasuke ketus. Naruto langsung berkelit marah sambil menunjuk wajah Sasuke yang entah kenapa jadi sangat menyebalkan itu.
         “Dasar Teme!!! Tidak tahu terima kasih!!” teriak Naruto sekeras-kerasnya. Sasuke hanya tersenyum mengejek. Senyum yang membuat wajah Naruto merah padam karena marah.
         “Akan aku ucapkan kata itu lain kali. Kalau aku sempat.” Ujar Sasuke dengan entengnya.
         “Dasar Teme! Menyesal aku memberikan baju dan topiku padamu, Teme!”
         “Kau tidak boleh menyesal. Baju dan topimu ini baunya aneh. Apa kau tak pernah mencucinya?”
         “Dasar Teme! Baju itu baru dicuci! Baju sewangi itu kau bilang baunya aneh?! Itu adalah wangi kesukaanku tahu! Itu wangi jeruk! Wangi jeruk TEMEEEEEEEE...!!”  Setelah meneriakkan itu, napas Naruto terengah-engah. Ia kehabisan napas di udara yang dingin itu.
         “Hn.” Lagi-lagi senyum merendahkan tersungging di wajah Sasuke. Ia benar-benar sudah berubah jadi seperti Sai yang ia benci itu. Ia benar-benar merasa senang mendapati Naruto marah seperti itu. Kali ini mungkin Naruto tak bersuara, Tapi matanya menyiratkan kemarahan yang tiada tara. Apalagi wajahnya yang benar-benar merah padam.
         “Naruto..?” pangil Sasuke.
         “Apa?!” jawab Naruto dengan membentak.
         “Mau kutraktir ramen?”
         “Hah?” Naruto seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Tapi kemudian wajahnya berubah sumringah. Cengiran lebar muncul di bibirnya. Tanpa ba bi bu, ia langsung menggandeng tangan Sasuke dan menariknya pergi dari tempat yang sudah sangat sepi itu. Tidak memperdulikan bahwa yang ditarik memekik karena luka di tangannya masih sakit.
~.^...oOo....oOo...^.~
Klotak!
         Sekali lagi terdengar suara mangkuk yang beradu dengan meja. Naruto baru saja menghabiskan semangkuk ramen porsi jumbo. Ah, itu mangkuk yang ke empat. Sasuke menelan ludahnya sendiri. Ia benar-benar tak habis pikir kalau orang yang tubuhnya lebih kecil darinya itu bisa menghabiskan empat mangkuk ramen, porsi besar lagi. Otaknya tak dapat menerima hal itu. Masuk kemana semua makananyang di makan Naruto tadi? Uh, Sasuke memijit keningnya degan jari telunjuknya. Ia sedikit pening bukan karena memikirkan harga yang harus ia bayar pada pemilik kedai, tapi pada kenyataan kalau ia menyukai orang aneh yang maniak ramen seperti Naruto itu.
         “Terima kasih atas makanannya!” seru Naruto sembari mengatupkan kedua telapak tangannya di depan wajahnya. Cengiran khasnya tersungging lebar.
         “Terima kasih Sasuke-Teme..  Aku sudah kenyang sekarang!” seru Naruto lalu cekikikan. Sasuke mendengus kesal. Ia benci pada dirinya sendiri yang kini terlihat tidak normal. Ah, apa ia baru saja lupa pada harga diri Uchiha yang selalu dijujungnya? Kenapa seorang Dobe seperti Naruto bisa membelokkan imannya? Bukan hanya bisa membuat tuan pembenci segala hal yang irit bicara dan pelit senyum itu jadi bisa menyunggingkan senyum tulus di wajahnya, tapi juga membuatnya menjadi seorang penyuka laki-laki. Arrrggghhh...!! dalam hatinya Sasuke berteriak frustasi. Ia benar-benar yakin sekarang kalau otak jeniusnya sudah terinveksi virus yang berasal dari Naruto yang Bobe itu. Ck! Sasuke benci kenyataan yang seperti ini. Benar-benar benci karena rasa anehnya itu tumbuh sejak pertama ia melihat warna biru yang amat disukainya pada mata Naruto, saat pertama kalinya ia melihat seseorang tersenyum tulus padanya, tertawa terbahak-bahak di depanya, memberinya cengiran khas, hingga ekspresi ngambek yang begitu imut menurutnya. Ah, dia jadi aneh karena bertemu Naruto hari itu. Tapi mungkin dia akan lebih menyesal kalau tak bisa mengenal orang unik itu sekarang.
         “Hey, Teme? Kenapa ramenmu masih utuh begitu? Kenapa kau tak memakannya?” tanya Naruto dengan dengan polosnya. Sasuke menghela napas panjang.
         “Aku tak suka ramen, Dobe. Kau boleh memakanya kalau kau mau.” Jawab Sasuke. Ia benar-benar sudah kenyang sekarang karena sudah melihat Naruto makan sebanyak itu.
         “Benarkah?! Terima kasih Teme!!” Naruto langsung mengambil ramen milik Sasuke dan melahapnya dengan cepat, karena itu adalah porsi biasa. Sasuke tertegun dan menggelengkan kepalanya.
         ’ Apakah perut Naruto itu terbuat dari karet, hah?’ pikir Sasuke tak habis pikir.
~.^...oOo....oOo..^.~
         Prof. Hatake Kakashi baru saja keluar dari ruangannya. Sesekali sebelah tangannya memijit pelan pelipisnya yang terasa berdenyut tak nyaman. Derap sapatu dari pria 40 tahunan itu menggema di koridor sekolah yang sekarang sudah gelap. Remang-remang karena kebetulan penerangan di tempat itu rusak dan belum sempat diperbaiki.
Srak! Kakinya menenendang sesuatu di lantai dan membuatnya terpaksa berhenti. Sebelah matanya menangkap sebuah bungkusan plastik di lantai. Pria bermasker itu mengambil bungkusan itu yang ternyata adalah bungkusan Cotton candy. Ia bertanya-tanya kenapa masih ada juga yang membuang sampah sembarangan? Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yangmembuatnya merinding. Pria itu hampir terlonjak karena kaget. Ia mendapati Sai yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapannya dengan senyum palsunya yang terlihat ganjil bagi seorang Hatake Kakashi itu. Sai mengambil cotton candy yang dipegang Kakashi, merobek bungkusnya dan memakan isinya.
         “Apa Sensei mau? Aku tak sengaja menjatuhkanya tadi.” Ujar Sai sambil menyodorkan cotton candy di tanganya pada Kakashi. Senyum Sai benar-benar membuatnya merinding.
~.^...oOo....oOo...^.~
         Taman bunga matahari. Semerbak dengan harum puspa yang hanya tumbuh di musim semi jika di Konoha. Sejauh mata memandang, hanya ada warna kuning dan coklat himawari. Sejauh mata onyx itu memandang, hanya keindahan yang di tangkapnya. Seekor dua ekor kupu-kupu terbang melewati sang Uchiha yang masih terpaku dengan keindahan tempat tak dikenalinya itu.
         “SASU-TEMEEE....!!!!” teriakan super cempreng yang sudah amat dikenalinya membuatnya kaget. Ia menoleh ke arah sumber suara. Naruto yang berlari-lari kecil ke arahnya. Tangan pemuda pirang itu melambai-lambai dengan semangat kepadanya. Cengiran lebar yang menampakkan barisan gigi-giginya yang rapi tersungging di bibirnya.
         “Teme..?” panggil Naruto yang sudah berdiri di depan Sasuke.
         “Hn.”
         “Aku mencintaimuuu...!!”
Gubrak!
         Sasuke jatuh dari tempat tidurnya. Selimut tebalnyamenutupi tubuhnya yang kin berada di lantai.
         “Ck! Kuso!” umpat Sasuke sambil mengelus-elus pinggulnya yang terasa nyeri. Oh, apa itu tadi? Mimpi? Ck. Sasuke benci mimpi, apalagi yang sudah membuatnya terjun bebas dari tempat tidurnya yang nyaman. Sasuke  melempar selimut hangatnya dan berdiri. Ia melirik jam bekkernya yang baru menunjukkan pukul 05.15. Sasuke mendengus kesal. Tak biasanya ia bangun sepagi ini. ‘Ini semua karena mimpi sialan itu!’ rutuk Sasuke dalam hati nya.
~.^...oOo....oOo...^.~
         Hari ini entah kenapa ia berjalan sendiri ke sekolah. Sebenarnya itu karena ia tak menunggu Sai untuk berangkat bersama. Ia benci psikopat yang selalu menghilang begitu saja tanpa pamit padanya kemarin yang membuatnya harus menelpon supir untuk menjemputnya setelah makan malam dengan Naruto.
         “ITTEEE... SHINOO, AMPUUNN...!!!!”
         Sebuah teriakan yang dikenalinya membuatnya menoleh pada arah suara. Di sana, di tempat kemarin pagi ia menemukan Naruto bersama sepupunya Sai. Di sana, tampak Naruto yang sedang bermain gulat dengan Shino. Ah, itu bukan permainan. Shino benar-benar marah karena mendapati Naruto berdua dengan Shikamaru tanpanya. Kau tahulah, Shino terlalu pencemburu. Pemuda pencinta serangga itu mencekik Naruto karena marahnya. Tak perduli Shikamaru dan Neji yang berusaha melepaskannya dari Naruto. Sasuke berdecak hina. Betapa bodohnya orang-orang itu.
         “Jangan jatuh cinta pada pacarku...”
         Sebuah suara datar membuatnya sedikit terkejut. Tanpa berbalik pun ia tahu pemilik suara itu. Pemuda yang berdiri satu meter di belakangnya itu adalah temannya sendiri. Teman sekaligus rival dalam memperebutkan gelar juara umum pertama di sekolahnya di Otto. Itu adalah pemilik tatto ‘ai’, Sabaku No Gaara. Sasuke menghela napas. Mendapati kenyataan bahwa temannya yang satu ini juga seoarang psikopat berbahaya.
         “Pacarmu itu tak menarik bagiku, Gaara..” ucap Sasuke datar setelah ia berbalik pada pemuda berambut merah itu. Gaara mengangkat bahunya.
         “Hm. Apa kau masih tertarik pada wanita? Ah, benar. Bagaimanapun juga kau harus tertarik pada gadis berambut merah muda  yang berisik itu. Dia adalah calon istrimu.”
         Oh, betapa menyebalkanya Gaara itu. Kalau Sasuke tak ingat bahwa Gaara itu satu-satunya temannya yang paling ia anggap, tinjunya pasti sudah melayang ke rahang Gaara yang kulitnya putih mulus itu. Tidak. Sasuke terlalu menyayangi saingannya itu, tepatnya, mantan pacarnya. Sasuke menghela napas panjang.
         “Terserahlah, Gaara. Sesukamu..” ucap Sasuke sebelum beranjak pergi. Gaara terdiam, ia tak berminat beradu argumentasi dengan mantan pacarnya itu.
~.^...oOo....oOo...^.~
         “Naruto...” Sasuke memanggil pelan pemuda pirang pemilik mata biru saffire yang sedang tergeletak di atas ranjang besi berbalut kasur yang terbungkus sprei warna putih.
         “Nghhh...” Naruto menggeliat manja karena terbangun dari tidurnya. Matanya yang setengah terbuka menangkap sosok Sasuke yang berdiri tak jauh darinya. Naruto mendudukan dirinya lalu menguap dan merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku.
         “Ne, Sasuke.. hmph!”
         Hening. Mata saffire Naruto membulat sempurna. Badannya menegang. Sadar akan sesuatu yang menempel di bibirnya. Benda hangat, lembut, dan lembab. Eh, kenapa ia hanya bisa menangkap pipi Sasuke yang merona? Kenapa wajah itu begitu dekat? Kenapa jantungnya jadi berdebar? Kenapa badannya tak ingin bergerak?
         Perlahan-lahan Sasuke menjauhkan jarak wajahnya dengan wajah Naruto. Degup jantungnya yang tak beraturan membuatnya hampir  tak sadarkan diri. Ia tersenyum manis saat mendapati wajah bingung Naruto. Ck. Si Dobe itu pasti belum menyadari hal barusan. Apa otaknya benar-benar ber-IQ rendah?
         “Naruto... Aku mencintaimu..” ujar Sasuke pelan. Sorot matanya yang tajam menyiratkan bahwa ia serius. Naruto memiringkan kepalanya. Wajahnya masih saja menyiratkan bahwa ia belum  sadar. Sasuke kesal. Ia kembali mengecup bibir Naruto.
         “Teme..? itu tadi kau menciumku?” tanya Naruto dengan polosnya.
         “Aku menyatakan cinta, Dobe..” jawab Sasuke dengan entengnya. Hening sejanak.
“UWAAAAAAA.....!!!! TEEEMMMMEEEEEE....!!!!”
         “Hahahahahah....”

~.^...oOoOOoOoOoOoOoOoOo...^.~
       To be continue..

Penulis: Shiryu Ayres

Tidak ada komentar:

Bisnis Online