Senin, 27 Januari 2014

Fanfic Naruto: 12.34


Fandom: NARUTO 
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Rate: T dengan sedikit perasan lemon
.oOo.
.oOo.
.oOo.
......Selamat membaca.....

Klinting..!
      Suara lembut lonceng yang dipasang di gantungan pintu bertuliskan open dan dibaliknya bertuliskan close, berbunyi nyaring. Seorang pemuda berkulit putih baru saja membalik papan itu jadi bertuliskan close yang berarti cafe itu sudah tutup. Sasuke, begitu nama pemuda bergaya emo pemilik mata hitam kelam itu dipanggil. Sesuai dengan nama lengkapnya, Uchiha Sasuke. Ia baru saja menutup cafe kecilnya untuk hari ini. Tak terlihat pegawai lain di ruang depan cafe itu, karena semua kariawan berada di ruang dalam khusus untuk pegawai. Belum beberapa langkah Sasuke meninggalkan pintu, ia mendengar suara lonceng yang berbunyi nyaring, pertanda ada orang yang membuka pintu itu. Sasuke mendengus seperti kebiasaannya kalau ada yang dengan bodohnya masuk ke cafenya yang sudah tutup. Maka dari itu ia berbalik dan hendak memaki orang yang datang itu. Tapi belum sempat Sasukemengeluarkan kata-katanya,
             “Maaf, aku tahu cafe ini sudah tutup, tapi mobilku mogok dan aku tidak bisa pergi ke cafe lain. Tak ada menu yang sesuai seleraku di wilayah ini. Jadi bisakah aku makan di tempat ini..?” Kata seorang pria di depan Sasuke dengan panjang lebar tanpa jeda. Sasuke menutup matanya sambil mendengus kesal menghadapi pria berpakaian hijau yang amat sangat norak itu. sebuah persimpangan imajiner bertengger di kepala Sasuke. Akhirnya dengan satu tarikan napas Sasuke berteriak.
             “KELUAR!!”
      Death glare Sasuke membuat orang itu merinding dan lari tunggang langgang dengan tidak elitnya. Sasuke menghela napas kesal. Hancur sudah moodnya hari ini gara-gara pria norak tidak elite barusan.
      “Ada apa? Kenapa kau teriak-teriak begitu, medoukusai..?” ujar seorang pemuda bermata malas. Sasuke mendengus dan memutar bola matanya malas.
      “Mahluk entah dari pelanet mana..” jawab Sasuke lalu pergi begitu saja.
Pemuda dengan nametag ‘Shikamaru’ itu hanya mengangkat bahu.
      “Seperti kataku,.. Medoukusai..?”
.oOo.
      “Sepertinya keputusanmu untuk menutup cafe ini di jam segini terlalu salah, Sasuke.” Ujar seorang gadis berambut merah yang sedang duduk di depan Sasuke. Sasuke hanya mendengus bosan. Entah sudah berapa kali gadis dengan nametag ‘Karin’ itu membicarakan hal ini dengan Sasuke, dan Sasuke sudah malas mendengarnya.
      “Aku tidak setuju denganmu, Karin. Jam-jam segini, semua orang sedang bekerja. Kau lihat sendiri, tak ada pelanggan kalau jam segini.” Ucap seorang gadis berambut pirang pucat. Ia baru saja memasang nametag bertuliskan ‘Ino’ di bajunya.
      “Itu karena kita menutup cafe ini. Kalau saja masih buka, tentu cafe ini akan didatangi pelanggan.” Kata Karin dengan nada ditinggikan, mengingat ia tidak terlalu menyukai teman kerjanya itu. Ino dan Karin kini saling pandang dengan tatapan benci. Bagaikan ada kilat yang menyatukan tatapan mereka itu.
      “Hooaaaammmhhh...” uapan Shikamaru menghentikan pertengkaran Ino dan Karin yang tak bersuara itu. Mereka hanya masih ingat bagaimana wajah marah Sasuke yang lebih mengerikan daripada iblis manapun. Jadi, jangan bertengkar di depan Sasuke.
      “Eh, Shikamaru, tidak biasa kau mengurai rambut.” Kata Ino dengan mata berbinar karena saat ini Shikamaru jadi lebih tampan dari biasanya.
      “Aku kehilangan ikat rambutku.” Ujar Shikamaru yang berlalu begitu cepat ke balik pintu.
      “Ohh...” entah setan apa yang merasuki dua gadis berbeda warna rambut itu hingga mereka dengan kompaknya hanya ber-oh ria. Setelahnya, Karin berbalik kembali pada Sasuke.
      “Sasuke, lebih baik kau buka cafe ini seharian penuh!”
.oOo.
Sasuke pov
Krriieett!
       Suara pintu berderit mengagetkanku dari kesadaranku yang hampir menyentuh alam mimpi. Aku menggeliat di kursi kerjaku. Sepasang tangan putih melingkari leherku dari belakang. Ah, tangan cantik ini, aku benar-benar mengenali pemiliknya. Sebuah kecupan lembut mendarat di pipi kiriku. Bibir lembut ini aku juga selalu mengenalinya.
             “Neji...” erangku malas sembari menepis kedua tangan itu. Neji berdiri di depanku dengan wajah heran dan sedikit kesal. Mata lavendernya menajam menatapku.
             “Kenapa? Kau menolakku terus akhir-akhir ini.” Kata Neji sembari duduk di depanku, di sebuah meja yang cukup besar dan disebut meja kerja. Tangannya mengelus-elus tangan kananku. Sentuhan halus yang menenangkan pikiran.
             “ Aku kan sudah bilang, Aku rasa hubungan ini sudah cukup.” Ujarku setelah menghela napas. Kutarik kembali tanganku dan mengenggamnya. Kudengar Neji juga menghela napas. Jemari lentiknya mengangkat daguku agar aku bisa melihat wajah tampannya. Sebuah kecupan singkat mendarat di bibirku.
             “Tapi aku tidak mau ini berakhir. Apa yang kurang dariku, Sasuke?” matanya menatap serius ke mataku. Oh, lelaki ini terlalu sempurna untukku. Aku tak pernah menjadikannya milikku, bukan aku tak ingin. Aku hanya tak bisa. Hatiku tak merestui jika aku menjadikan dia milikku. Tapi tubuhku, aku biarkan tubuhku menjadi miliknya, seutuhnya di ranjang. Tak pernah lebih. Bahkan hingga setahun hubungan tanpa status ini kami jalani, aku masih tak bisa menerimanya. Dan sekarang, aku berniat lepas darinya.
             “huuuuuffffhhhh...” Aku menghela napas lagi. “Aku lelah. Hanya itu. Tak ada yang tak sempurna darimu, hanya saja aku tetap tak bisa. Neji, aku sudah mengatakan ini berulang-ulang.”
      Neji memutar mata bosan. Dengusan terdengar samar di telingaku. Ia mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
             “Hanya karna aku terlalu sempurna, Tuhan tak menganugrahkan keberuntungan padaku? Aku tak bisa memiliki orang yang aku cintai?” Nadanya lirih, tapi tetap bisa aku dengar.
             “Neji..?”
             “Aku tak bisa marah padamu. Walau aku tak terlalu percaya adanya Tuhan, tapi aku akan menyalahkannya.”
             “Sudah cukup!”
      Neji menggulirkan matanya padaku. Ia kemudian berdiri.
             “Aku... Maafkan aku, Neji.” Aku tak berani menatap matanya yang selalu terlihat indah. Aku terlalu takut. Neji tak mengatakan apapun. Ia berjalan menuju pintu keluar.
             “Neji” aku memanggilnya tanpa berbalik padanya. Tapi aku bisa melihat bayangannya pada kaca jendela di depanku, ia berhenti tapi tak berbalik. Mungkin ia marah. “Kali ini, carilah pacar di luar sana. Aku tak bisa terus melayanimu tanpa cinta.” Ucapku kemudian.
Blam!
             Neji mungkin terlalu marah hingga membanting pintu.
.oOo.
Klinting!
      Hari ini, pukul sebelas lewat empat puluh dua menit. Aku kembali membalik papan bertuliskan ‘open’ menjadi ‘close’. Sudah resmi Aku menutup cafeku hari ini. Walau kadang banyak yang memprotes kenapa cafeku hanya buka selama kurang lbih tiga jam lebih, tapi aku tidak perduli. Ini sudah menjadi konsepku sebelum membuka cafe ini dengan susah payah. Hah, kadang aku heran dengan orang-orang. Kenapa mereka mengomentari sesuatu yang mereka tak tahu kebenarannya. Ck. Menyusahkan.
       Aku masih berdiri di depan pintu sembari melipat tangan di dada. Membiarkanku diperhatikan beberapa orang yang sengaja datang di cafeku tapi ternyata cafe ini sudah tutup. Ck, ingin sekali aku mengejek mereka. Tapi aku tahan karena bisnisku akan mati tanpa adanya pelanggan. Beberapa orang itu akhirnya pergi. Mungkin pergi ke cafe depan yang jam sekarang masih buka. Sungguh kasihan. Belum sampai mereka ke sana, hujan deras tiba-tiba turun. Ah, ya. Ini sudah musim hujan. Awan hitam selalu menggulung-gulung di cakrawala, seakan betah berada di sana. Seakan malas untuk melakukan sesuatu. Kalau perlu mereka mengatakan ‘medoukusai’ seperti layaknya Shikamaru. Awan dan Shikamaru itu sama. Sama-sama malas. Tapi Shikamaru, sahabatku itu tak semalas kelihatannya. Ia adalah seorang pekerja keras berotak encer. Ia kubiarkan bekerja di sini hanya karena aku butuh teman yang masih waras. Tidak gila seperti Karin atau Ino. Mereka berdua mengerikan. Jika kau kira pekerja di sini hanya kami berempat, maka itu salah. Masih ada Sai, sepupuku yang mengerikan. Neji juga bekerja di sini. Ada juga Kiba,temanku saat kuliah dan dua orang  pelayan yang baru aku pekerjakan, Sora dan Ten Ten. Mereka semua ada di dapur. Di dapur ada satu set meja makan. Mungkin mereka semua sedang makan atau minum di sana, atau juga bersiap-siap pulang di ruang ganti. Di belakang juga ada sebuah kamar tidur. Dan tempat itu hanya khusus milikku. Jadi mereka tidak mungkin berada di sana.
      Aku menghela napas. Menatap hujan yang begitu lebat. Ah, mereka tak akan kubiarkan pulang dalam cuaca begini. Kuraih ponselku dan mengirimkan pesan ke Shikamaru yang selalu tak pernah dibalas. Atau kalau dibalas, isinya hanya satu kata favoritnya, ‘medoukusai’. Ah, aku juga sama malasnya untuk ke ruang sana. Aku masih suka berada di sini untuk menatap keluar sana. Entah kenapa aku merasa ini jadi menarik. Aku menggulirkan manik onyxku ke segala arah, hingga aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku. Seorang pria di sana, di trotoar tak jauh dari kotak telepon umum. Kulihat ia berambut pirang cerah. Dan kulitnya berbeda dengan orang-orang biasa. Kulitnya sedikit coklat. Pria itu mengibaskan tangannya ke pundak seperti menepuk debu. Sepertinya ia kehujanan. Atau mungkin juga tidak. Kulihat bajunya tak terlalu basah. Mungkin ia hanya berteduh di sana dan bajunya terkena air hujan yang turun dengan derasnya itu. Oh, kenapa ia jadi begitu menarik?
.oOo.
      Naruto pov
             Ah! Benar-benar sial aku hari ini..” gerutuku sembari mengibaskan tanganku untuk menyeka butiran air yang menempel di bajuku. Hujan terlalu deras hingga menimbulkan uap air yang mengembun. Bajuku jadi sedikit lembab. Ugh, sial. Ah, kenapa tak ada cafe yang dekat? Lihat aku jadi sedikit basah karena hujan! Ini semua karena tak ada yang membangun cafe di sekitar sini. Sudah kuperhatikan berkali-kali. Gedung-gedung ini membuatku heran. Kenapa tak ada cafe? Kenapa harus ada butik di samping salon kecantikan? Kenapa ada kantor pengacara di samping salon? Kenapa di samping kantor pengacara ada toko buku? Kenapa di samping toko buku ada.. Uh, apa itu?
             UCHIHA’S CAFE..” ucapku membaca miniatur huruf yang terpajang di sebuah gedung bercat coklat dengan motif bata. Aku menepuk jidatku sendiri. Ah, mungkin mataku sudah mulai rusak karena terlalu sering bertatap dengan layar komputer. Mungkin juga karena terlalu sibuk menghindari hujan jadi aku tak melihat tulisan yang begitu besar itu. Ah, mungkin benar kata orang, aku ini tidak peka.
.oOo.
      ‘Sasuke pov’
Klinting!
      Hatiku hampir terlonjak keluar dari dadaku karena bunyi lonceng. Padahal bunyinya nyaris tak terdengar karena teredam bunyi hujan. Tapi, tetap saja membuatku kaget. Apa karena aku sedang menunggu seseorang? Benar saja. Kulihat pria yang berdiri di trotoar tadi melenggang memasuki cafeku. Ia duduk di depanku yang berdiri sembari berpura-pura mengelap gelas di belakang meja saji. Aku adalah seorang barista, jadi wajar kalau aku berada di tempat yang dikelilingi rak berisi botol-botol minuman. Sebisanya aku tersenyum ramah saat melihat ia menatapku. Ia membalasnya. Oh, senyumnya sangat manis.
             “Selamat datang, mau pesan apa?” sapaku ramah sembari menyodorkan buku menu. Ah, aku tak biasa bersikap ramah pada pelangan. Tapi, akan aku kesampingkan untuk yang satu ini. Aku senang usahaku untuk menarik pria ini berhasil. Aku tahu hujan di luar sana pasti mengganggunya dan dia pasti akan mencari tempat untuk bersantai barang sejenak di suatu tempat. Memang tidak mungkin ia datang kemari kalau aku tak mengundangnya dengan halus. Dengan cara membalik kembali papan close menjadi open. Ah, cafeku buka kembali. Sepertinya aku akan menerima saran Karin untuk membuka cafe ini seharian penuh.Mengenai kariawan lain, aku sudah konfirmasikan lewat Shikamaru yang di balas dengan ‘medoukusai’. Tapi semua setuju.
      Aku tertawa dalam hati dengan penuh kemenangan. Aku tahu pria ini pasti akan kemari karena gedung cafe lain berada di luar compleks pondasi. Yang berarti dia harus menerobos hujan jika mau kesana. Sedangkan gedung-gedung yang berada di samping kiri maupun kanan cafe ini tidak memungkinkan untuk bisa dijadikan tempat berteduh yang santai. Oho, andai saja boleh tertawa, aku akan tertawa setan.
      “Robusta milk” ucap pria yang belum kuketahui namanya itu setelah beberapa saat membaca buku menu. Hn, kenapa ia memesan menu biasa? Ck. Apa ia akan segera pergi?
      “Oke.” Ucapku sembari meracik bahan minuman yang pria pirang itu pesan. Dengan penuh gaya kutampilkan kemampuanku meracik sembari beratraksi seperti barista-barista lain. Aku ingin berpamer padanya. Aku ingin menarik hatinya, karena pria pirang ini sangatlah menarik perhatianku.
     Tak barapa lama, pesanannya jadi. Dan aku menyodorkanya padanya. Ia tersenyum senang membuatku sedikit terkejut. Aku baru menyadari kalau ada guratan-guratan halus pada kedua pipinya, dan masing-masing pipi mempunyai tiga. Terlihat jelas saat ia tersenyum. Dia sungguh manis dengan guratan itu di pipinya. Ditambah matanya yang sangat mengagumkan. Oh, kenapa laki-laki ini dikaruniai mata berwarna biru yang seindah batu saffire tanpa awan itu? entah kenapa aku merasa melihat langit musim panas di hari hujan ini. Dan Sasuke, sadarlah. Kenapa kau melototi pelangganmu terus? Bagaimana kalau ia kabur karna takut padamu? Oh, tidak, tidak! Aku kembali mengelap gelas. Hn, hanya pura-pura tentunya. Sesekali aku melirik dia. Ia menikmati minumannya dengan tenang. Sebuah smartphone bertengger di tangannya. Hn, asyik sekali dia memperhatikan benda itu ketimbang aku. Ck! Kusooo! Kenapa dia tak mengajakku bicara?! Kenapa?!
Triinngg!
      Lonceng di pintu berbunyi. Kulihat ada pelanggan yang datang. Dan Shikamaru dengan cekatan melayani mereka. Oh, aku tidak menyadari di mana dia tadi. Hah, sudahlah.
Klintingg!           
      Ck. Siapa lagi itu? Eh? Pelanggan lagi? Apa-apaan ini? Kenapa cafeku jadi ramai? Bukan aku tidak senang, tapi... Hah.. sudahlah. Aku sudah terlanjur membuka cafe ini seharian penuh. Resiko. Ck! Ini semua karena laki-laki ini! Aku terus berteriak dalam hati. Aku tidak tahu ekspresiku seperti apa sekarang.
      Deg! Jantungku seakan berhenti berdetak saat aku melihat pria pirang di depanku menatapku dengan tatapan heran. Aku menelan ludah ku sendiri. Apa ekspresiku sangat kentara? Apa aku terlihat konyol? TIDAAAKK..!!!
      “Aku ingin memesan makanan,” ujar pria pirang setelah beberapa saat diam. Aku belum menghela napas lega. “ Orange cake and tiramisu” sambungnya santai dengan ekspresi meyakinkan. Hn, entah kenapa aku merasa dia sedang mengerjaiku. Aku hanya meng’oke’kan saja pesanannya. Tak lama kemudian cake manis yang amat mengiurkan itu kuletakkan di depannya. Ia kembali tersenyum manis dan berterima kasih. Dan aku hanya membalas senyumnya dengan sedikit datar. Aku tidak percaya padanya.
      Aku tak lagi memperhatikannya. Aku juga sibuk dengan pelanggan lain. Kadang aku mengelap gelas dam beratraksi sebagus mungkin untuk berpamer. Ah, kurasa di juga memperhatikanku. Tapi aku tak berani memandang balik. Ck! Kusooo! Kenapa aku jadi seperti gadis ABG?!! Aku menghela napas.
Klinting!
      Eh? Aku langsung melayangkan pandangan ke arah pintu. Betapa terkejutnya aku saat menyadari kalau pria pirang di depanku tadi sudah keluar dari cafeku. Kulihat beberapa lembar uang kertas tergeletak di atas meja. Dia pergi tanpa pamit. Menyedihkan. Walaupun hujan sudah berhenti setidaknya pamitlah padaku dengan membayar langsung padaku bukan meninggalkan uangmu sembarangan saja. Dobe!
.oOo.
Klinting!
      Aku melayangkan pandangan ke arah pintu. Seseorang baru saja masuk dan duduk di meja paling pojok. Tepat di dekat jendela. Sepertinya ia seorang mahasiswa. Rambutnya merah, kulitnya putih mulus melebihi putih mulusnya seorang wanita. Apa dia juga uke? Habis dia manis sekali. Tapi kesan cool seorang pria masih terlihat dari tatto huruf kanji ‘AI’ di pelipisnya. Hiasan hitam disekeliling matanya juga memberi kesan tersendiri. Eh? Sejak kapan aku suka memperhatikan orang? Ck, kuso! Seperti kurang kerjaan saja.
      “Sasuke, jam berapa ini?” seseorang mengagetkanku dengan pertanyaanya. Aku menoleh dan mendapati Kiba sedang memegang  jam dinding. Hn, itukan jam dinding cafe ini.
      “Kenapa lagi benda tua itu?” tanyaku balik.
      “Biasa, baterainya harus di ganti. Jam berapa sekarang?” jawabnya yang kemudian bertanya lagi. Aku menyingkap lengan kemeja yang menutupi pergelanganku untuk membaca arlojiku.
      “12.34..”
Klinting!
      Aku langsung menolehkan kepalaku ke arah pintu. Hal ini memang sudah jadi kebiasaanku ternyata. Aku hampir saja terlonjak saat mengetahui siapa yang datang. Orang yang kemarin membuatku membuka cafe hingga seharian penuh. Sampai-sampai hari ini pun begitu. Ya, aku memang sudah setuju cafe ini buka hingga malam. Itu semua juga karena permintaan teman kariawan lain.
      “Itu bukan orang yang kemarin ya?” pertanyaan Kiba membuatku sedikit terkjut.
      “Hn.” Tanggapku singkat sembari memperhatikan pria pirang yang baru datang itu. tapi, pria pirang itu tak berjalan ke arahku melainkan ke arah meja yang di tempati pemuda pemilik tattto ‘AI’. Oh, aku sedikit kecewa. Aku kira dia akan duduk di depan meja sajiku. Terlebih lagi ia tersenyum sangat akrab dengan pemuda panda itu, membuatku sedikit cemburu. Ya, cemburu. Aku sangat cemburu dan aku malas untuk tak mengakuinya. Aku sudah menyukai pria pirang itu sejakkemarin. Semalam aku tak bisa tidur karena memikirkan dia. Senyum yang ia sunggingkan untukku selalu menghantuiku semalam. Tapi kenapa hari ini dia bersama orang lain? Jangan-jangan, pemuda panda itu adalah kekasihnya. Oh, Tuhan. Kutarik rambut depanku karena kepalaku tiba-tiba pening.
             “Hey, Sasuke? Kau tidak apa-apa?” tanya Kiba yang ternyata masih berada di sampingku. Aku menggeleng dan menggumamkan dua kata favoritku ‘hn’. Mungkin Kiba mengerti, ia sudah menjauh dariku untuk memasang kembali jam dinding yang ia bawa tadi di tempatnya semula.
             “Sasuke..?”
             “Hn?” kulihat Neji berdiri di depanku. Di tangannya ada buku menu.
             “ Dua Robusta milk dan orange cake tiramisu untuk meja tujuh.” Ujarnya kemudian. Aku menengok ke meja tujuh. Itu adalah meja yang ditempati pemuda panda dan pria pirang.
             “Hey, kau dengar atau tidak?” pertanyaan Neji mengagetkanku. Aku hanya menjawab dengan ‘Hn’. Ah, sedikit berbeda rasanya kalau tak dilihat olehnya. Si Dobe itu. Aha, aku akan memanggil pria pirang yang tak pernah kuketahui namanya itu dengan sebutan ‘Dobe’. Ck, panggilan itu benar-benar pantas untuknya. Tak butuh waktu lama untuk menyajikan robusta milk, aku juga menyiapkan cake yang dipesan. Setelahnya Neji mengantarkannya ke meja tujuh. Kulihat Dobe tersenyum ramah sekali pada Neji, sedangkan si pemuda panda itu hanya berwajah datar. Ck, ingin sekali aku menonjok wajah tampanya itu. Beraninya dia mengacuhkan Neji yang tersenyum manis padanya.
Klinting!
      Seperti biasa, aku langsung menoleh ke arah pintu. Hn, aku langsung memasang wajah datar ketika mengetahui siapa yang datang. Pria berjas rapi, rambut hitam panjangnya diikat kebelakang. Pria bermata onyx yang punya guratan di kedua sisi hidungnya itu adalah kakakku. Orang-orang selalu  berkata kalau wajah kami serupa. Tapi aku tidak percaya karena aku tak menyukai saudaraku yang bernama Itachi itu.
             “Yo, Otoutou..” sapa Itachi sembari tersenyum padaku. Ia duduk di depan meja sajiku.
             “Ck. Apa yang Aniki lakukan disini..?” kataku padanya yang sibuk membalas sapaan Sai. Ia berbalik kembali padaku dengan wajah serius.
             “Jadi, Aniki tidak boleh mampir? Padahal biasanya kau sudah pulang sekarang. Apa yang membuatmu berubah pikiran, Otoutou? Tapi sepertinya ini jauh lebih baik dari yang sudah-sudah. Omsetmu akan naik dengan pengunjung sebanyak ini.” Ujar Itachi panjang lebar. Aku hanya mendengus sembari  memutar mataku bosan. Tak sengaja pandanganku tertuju pada meja tujuh, tepatnya pada pemuda pirang yang tersenyum ke arahku. Aku masih bersembunyi di balik topeng stoicku saat Dobe beranjak dari kursinya dan berjalan kemari. Dalam hati aku bertanya, ada apakah gerangan?
             “Ah, ternyata benar ini kau, Itachi..” kata Dobe yang sukses membuatku hampir pinsan. Untung saja aku bisa bersikap datar.
             “Naruto? Ah..!” seru  Itachi setelah berbalik. Mereka bersalaman. Sepertinya sudah lama tak bertemu. Mereka berdua ngobrol di depanku dengan akrabnya. Aku berpura pura mengelap gelas dan melayani seorang pelanggan di samping mereka. Tapi aku terus memasang telingaku lebar-lebar untuk menguping pembicaraan mereka. Bahkan dalam aksiku beratraksi dalam menyajikan minuman berbahan dasar kopi, aku tersenyum dengan penuh percaya diri. Mau tahu kenapa? Karena akhirnya aku tahu nama asli si Dobe itu. Namanya adalah Naruto, Uzumaki Naruto. Ternyata dia adalah seorang dosen muda di Universitas Internasional Konoha. Ck, aku sedikit tak percaya kalau dia itu dosen. Lihat saja wajahnya yang terlihat benar-benar dobe itu. Yang lebih mencengangkan lagi, ternyata dia juga adalah teman Itachi dan mereka mengabdi di Universitas yang sama walau belum lama. Ya, belum lama. Karena ternyata Naruto berasal dari Otto, kota besar di luar pulau yang terkenal dengan surganya orag pintar. Kota itu bahkan sudah lebih maju dari Konoha dari segi apapun. Naruto baru seminggu di sini. Dan aku lupa mengatakan, kalau Universitas Internasional Konoha dekat dari sini. Bisa ditempuh dengan jalan kaki. Mungkin itulah alasan kenapa Naruto hampir kehujanan kemarin itu. Aku tertawa dalam hati penuh kemenangan.
             “Nah, Itachi, sepertinya kita sudah harus pergi. Sebentar lagi jam istirahat kita berakhir’kan?” kata Naruto pada Itachi. Itachi mengangguk.
             “Ya, seperti itulah..” ucapnya kemudian. Mereka pun berdiri. Merogoh dompet masing-masing dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas.
             “Ah, Naruto, biar kutraktir kau hari ini. Mumpung beradadi cafe adikku sendiri.” Kata Itachi. Aku mendelik padanya yang dibalas kekehan. Naruto menatapku tapi tak lama karena ia langsung menoleh pada Itachi lagi.
             “Ah, jadi benar dia adikmu. Aku sudah memperhatikannya dari kemarin. Dia benar-benar mirip denganmu. Kemarin itu hampir aku salah mengenali orang.” Kata Naruto kemudian dia terkekeh bersama Itachi. Ugh! Ingin sekali aku menelan Baka Anikiku itu hidup-hidup. Sebal! Sebal! Sebal! Apakah wajahku memerah? Jangan bilang kalau wajahku memerah! Ku alamatkan death glare ku yang mematikan pada Itachi. Menyuruhnya segera mengakhiri semua ini dengan satu delikan maut. Dan itu selalu berhasil. Itachi menyerahkan uangnya dengan sedikit gemetar. Ketahuilah aku bisa membunuhmu saat ini juga Baka Aniki!!
      Akhirnya mereka berdua pergi juga. Tapi Naruto pergi tanpa pemuda panda yang sedang berbicara dengan Neji. Eh?
             *Neji? Apa kau tertarik padanya? Pemuda panda itu?* begitulah isi smsku yang baru ku kirim pada Neji. Kulihat Neji mengambil ponselnya, diam sejenak lalu menggerakkan jemari lentiknya di atas nonitor touchscreennya. Tak lama sms Neji masuk ke hpku.
             *Dia bukan panda. Namanya Gaara. Dan, aku memang tertarik padanya. Aku senang kau cemburu.* hampir saja aku melemparkan Hpku pada Neji jika saja cafe ini tidak sedang buka dan ramai seperti ini.
             *KUSOO!! BAKA NEJII!!* begitulah balasanku. Dia tak membalas dengan sms, tapi dengan senyum termanis yang pernah kulihat dari seorang Hyuuga Neji setelah ia berbalik padaku. Aku membalasnya dengan delikan maut, Dan ia tambah terkekeh. Kunai! Ada yang punya kunai? Aku ingin melemparnya dengan kunai!!
.oOo.
      Hari berikutnya. Cafe ku masih tetap ramai. Ramai dengan gadis-gadis yang ingin melihatku beratraksi. Oh, inilah salah satu alasan kenapa dulu cafeku tak buka lama-lama. Aku tak suka dikerubungi gadis-gadis berisik ini. Huuuhh... kuhela napas lega setelah mereka semua pergi. Tanganku pegal karena harus beratraksi terus untuk melayani gadis-gadis yang bejibun banyaknya itu. Aku baru saja kembali dari toilet untuk membasuh wajahku yang tampak kusut dan berkeringat. Kupasang kembali arloji kesayanganku yang tadi kubuka agar tak terkena air keran.
             “Hm, pukul 12.34..” gumamku pelan. Tiba-tiba,
Klinting!
      Lonceng di pintu berbunyi, aku terdiam saat mengetahui siapa yang datang. Dia, Naruto dan si pemuda panda, yang kemarin kuketahui namanya Gaara. Mereka berdua duduk di meja yang kemarin mereka duduki. Dan tak lama, Neji menghampiri mereka berdua dan menyodorkan buku menu. Sepertinya Neji melakukannya sekalian untuk mendekati Gaara. Walau pemuda pemilik tatto ‘Ai’ itu masih bersikap dingin padanya.
      Hingga seminggu kemudian, aku masih bisa melihat Naruto dan Gaara datang lagi. Ah, aku baru sadar setelah hampir seminggu pasangan berbeda warna rambut itu selalu datang berdua, duduk di meja yang sama dengan yang sebelum-sebelumnya, dan selalu Neji yang melayani mereka. Dan juga, mereka selalu datang tepat pukul 12.34. Ah, apa itu suatu ciri khas?
      Aku selalu senang bisa melihat Naruto setiap harinya walau Dobe satu itu tak pernah bicara padaku. Duduk di depan meja sajiku saja kalau ada Baka Aniki yang mengajaknya ngobrol. Mereka selalu ngobrol dengan begitu akrab. Selalu ada tawa yang muncul saat mereka mengobrol. Dan tawa Naruto selalu sangat manis di mataku, membuatku tambah menyukai Dobe itu, membuatku tambah menyukai warna biru kesukaanku yang ada di matanya, Membuatku selalu merasa senang walau tak bisa bicara langsung padanya, walau aku hanya bisa mendengar suaranya yang berbicara dengan Aniki, walau dia hanya datang pukul 12.34 siang, walau ia hanya 30 menit di cafeku, tapi aku tetap senang.
.oOo.
Kriieett!
      Pintu kamarku kubuka, hari sudah sangat malam. Aku terlalu fokus pada dokumen-dokumen omset yang harus aku urus hingga aku tak sadar kalau hari sudah sangat malam. Ah, aku malas kalau harus pulang ke rumah. Kupikir lebih baik aku menginap di cafe. Lagi pula aku sudah sering seperti ini. Karena itulah cafe ini punya satu kamar. Karena aku biasanya malas pulang. Aku menganggap cafe ini rumah kedua bagiku setelah lulus kuliah dan mengelolanya. Uh.. leherku pegal. Kurebahkan tubuhku ke atas ranjang berkasur empuk ini. Aku hampir saja tertidur kalau saja tak ada yang mengetuk pintuku. Siapa yang malam-malam berani mengganguku? Eh, bukankah aku sudah mengunci pintu cafe ini? Apa ada pegawai yang belum pulang selain aku? Dengan malas aku menuju pintu dan membukanya.
Kriiett!
      Ah, kulihat Neji ada di depan pintuku. Tapi bukankah dia tadi sudah pulang?
             “Neji..?”
             “Hm..”
Buusshh!
      Tiba-tiba saja aku terlempar ke kasur dan kedua tanganku dibelenggu Neji di atas kepala. Ia dengan beringasnya meciumi leherku. Kurasakan lidahnya juga menjilati leherku, dan telingaku ia gigit kecil.
             “Neji..!!” teriakku.
             “Ya, sayang..” suara Neji terdengar lebih berat dari biasanya. Napasnya memburu, matanya berkilat penuh napsu.
             “Neji, hentikan ini.. “ kataku memohon. Tapi Neji hanya menyeringai.
             “ Aku sangat merindukanmu..” desahNeji sembari melumat bibirku. Ah, benar. Sudah hampir dua minggu dia tidak menyentuhku. Kenapa? Aku kira dia menyukai Gaara. Aku mencoba melawan. Aku tak membuka mulutku saat Neji memintanya. Alhasil, ia meremas daerah sensitifku yang refleks membuatku membuka mulut dan ia tak ambil jeda untuk menyapu bagian dalam mulutku dengan senang hati. Ah, sudahlah. Kalau sudah seperti ini aku tidak akan selamat. Memberontak seperti apapun aku tidak akan bisa lepas, tenaga Neji jauh lebih kuat. Dan malam ini, untuk kesekian kalinya, aku jatuh lagi ke lubang nista bersamanya. Oh, Neji..
.oOo.
             “Neji, apa maksudnya yang semalam itu..?” tanyaku pagi itu, saat Neji dengan tenangnya duduk di bibir ranjang sembari menyisir rambutnya yang panjang. Ia mendongak padaku yang berdiri di depannya.
             “Aku merindukanmu dan kita bercinta semalam.” Ujuarnya dengan wajah tanpa dosa. Dia sukses membuatku mengerang frustasi sembari mengacak-acak rambutku yang memang masih acak-acakan. Aku bahkan belum mandi pagi ini.
             “Jangan mempermainkakanku!!!” teriakku sejadinya. Aku jatuh terduduk di lantai, menarik-narik suraiku sendiri karena tidak tahan sakit di hatiku. Entah kenapa kepalaku juga jadi sakit.
             “Neji, aku harus apa agar kau melepaskan aku?” tanyaku sembari mendongak ke Neji yang masih duduk di atas ranjang, ia kemudian turun dan mendekat padaku. Matanya menatap tajam padaku. Dengam geram ia mencengkram kedua bahuku, membuatku kesakitan karena aku saat ini tak memakai baju.
             “Tidak ada yang perlu kau lakukan! Karena aku tidak akan melepaskanmu!” jawabnya kemudian dengan sedikit membentak. Benar-benar terlihat kesungguhan di mata lavendernya yang indah. Aku menangis, air mataku jatuh membasahi pipiku yang pucat ini.
           “Seharusnya aku yang bertanya, aku harus apa agar kau mau menerimaku? Sasuke!!” ujarnya lagi dengan suara keras. Aku menunduk. Tidak perduli dia menggoyangkan badanku.  “apa ini karena si pirang itu?! apa karena kau tertarik padanya, jadi kau semakin berniat meninggalkanku?! Apa bagusnya dia dibanding aku?!! Jawab aku! Sasuke!! Jawab aku!!” teriaknya lagi. Aku mendongak dan menatap matanya. Matanya berkilat marah.
             “Kau sempurna, Neji. Sempurna..” ucapku meyakinkan.
             “Aaarrggghh..” Neji berteriak frustasi. Ia berdiri dengan napas terengah karena menahan marah.
             “Kau selalu mengatakan aku sempura.. Sempurna!! Tapi kenapa kau tak penah menerimaku?!!” teriakanya lagi.
BRRAAKK!!
      Ia membanting pintu dengan kerasnya. Pergi begitu saja. Meninggalkan aku yang masih terduduk di lantai. Aku menghapus air mata yang masih mengalir di pipiku.
             “Neji, maaf..”
.oOo.
      “12.34..” gumamku pelan. Aku tersenyum ke arah pintu. Tapi, tak ada siapa-siapa di luar sana. Bisa dilihat karena pintu itu terbuat dari kaca transparan. Tak ada yang datang? Apa dia tidak datang hari ini? Yah, di luar memang hujan deras, tapi biasanya dia selalu sempat datang. Bukan karena ini hari minggu. Bukan. Karena di hari minggu pun dia selalu datang di jam segini. Lalu kenapa?
             “Sasuke..?” aku terkejut saat seseorang memanggil namaku. Ternyata Shikamaru.
             “Hn?” tanggapku singkat.
             “Sadar atau tidak, aku tidak melihat Neji hari ini. Apa kau tahu kenapa dia tidak masuk? Aku sudah sangat malas pada gadis-gadis yang dari tadi menanyakannya.” Ujar Shikamaru dengan wajah bosan. Ah, ya. Aku baru sadar kalau dari tadi tak ada Neji di sini. Tak ada sosok yang sangat sempurna itu.
             “Aku tidak tahu. Kau sudah menelponnya?” ujarku kembali bertanya.
             “Ponselnya tidak aktif. Aku sudah menghubunginya berkali-kali, medoukusai..” jawab Shikamaru lalu pergi.
      Apa ini? Apa Neji begitu sangat marah sampai ia tak mau bekerja hari ini?
Klinting!
      Aku langsung menengok ke arah pintu. Seorang wanita hamil baru saja masuk bersama seorang lelaki yang mungkin itu suaminya. Aku menghela napas kecewa. Sepertinya ia tak datang hari ini. Mungkin ia akan datang besok. Hari ini, aku menjalani hidupku seperti biasa. Melayani pelanggan seperti biasa. Tapi, sesekali aku mengirim sms pada Neji. Sesekali aku menelpon tapi ternyata ponselnya tidak aktif. Aku terus mencoba, hingga hari itu berakhir. Hingga besoknya juga.
             “12.34..” gumamku lirih lalu menengok ke arah pintu. Lama kupandangi pintu kaca itu, tapi  tak ada yang datang. Aku kembali menghela napas kecewa. Perhatianku kembali pada ponselku. Menekan nomor telepon Neji mencoba menghubunginya sekali lagi hari ini. Aku sudah jadi khawatir sekarang. Apalagi sampai sekarang nomor itu tidak juga aktif. Kau di mana Neji? Kenapa ponselmu tak pernah aktif? Apa yang terjadi? Kau kenapa? Kau bukan orang yang dengan bodohnya melakukan hal konyolkan? Kau tidak bunuh diri karena aku’kan? Tidak-tdak! Aku menggeleng keras! Kenapa aku memikirkan hal bodoh semacam itu? bodoh kau Sasuke!
      Seminggu berlalu, dua minggu berlalu, tiga minggu berlalu, sebulan sudah berlalu, tapi tak ada juga kabar  yang kudapat dari Neji. Tak ada juga yang tahu dia kemana. Aku sudah bertanya pada teman-temannya, tak ada yang tahu. Sekarang aku sudah sepeti orang gila. Terlebih lagi, aku juga tak pernah lagi melihat Naruto datang ke cafe ku. Tidak! Masa bodoh dengan dia! Aku hanya ingin bertemu Neji! Aku khawatir pada Neji!
       Ada apa ini? Apa yang terjadi? Aku kembali ke kamarku setelah menyuruh Shikamaru menggantikan posisiku sebagai barista. Aku merasa kepalaku terasa berat dan begitu sakit. Aku duduk di tepi ranjang seperti orang bodoh. Mengingat kembali kejadian itu. Saat Neji pergi sembari membanting pintu. Pergi begitu saja dengan penuh emosi. Dan aku tak penah tahu kalau ia tidak akan kembali. Bahkan hingga aku merindukannya. Merindukan ia tersenyum dengan manisnya padaku. Dan sekarang, Sudah sebulan ia tidak kembali. Tidak pernah ada kabar. Aku tahu dia sudah menonaktifkan nomor Hpnya. Dan entah kenapa, semenjak Neji pergi aku merasa ada yang kurang. Ada yang hilang dari hidupku. Apa ini, kenapa seperti ini? Perasaan apa ini? Aku sesak. Aku kenapa?! Kenapa?!!
      Aku menarik rambutku sendiri hingga kurasakan kepalaku tambah sakit.
             “AAARRRRGGGHHHH...”  teriakku sejadinya. Rasanya aku benar-benar tersiksa. Aku tersiksa. Perasaan yang tak bisa didevinisikan oleh otak jeniusku ini terus menyesaki dadaku. Kalau seperti ini terus aku bisa mati karena gila. Apakah, ini yang disebut penyesalan? Apa aku menyesal sekarang? Apa aku menyesal karena menyianyiakan Neji, orang yang mencintaiku dengan setulus hati. Apakah, seperti ini balasan untuk orang sepertiku? Aku sudah sangat bodoh karena tak menyadari betapa Neji itu sangat berharga. Aku menangis, terisak dengan penuh sesak. Kutarik rambut dan bajuku seperti orang stres. Ya, aku sudah sangat stres sekarang. Aku hampir gila karena rasa sesal yang menyeruak dan meledak melalui ubun-ubunku. Aku ingin Neji kembali. Aku ingin dia di sini. Aku merindukannya!!
.oOo.
‘Neji pov’
             “12.34..?” gumamku lirih pada diriku sendiri. Ya, tentu pada diriku sendiri, karena aku sedang sendirian di kamar ini. Kamarku di rumah orangtuaku yang telah tiada. Di Otto Gakure. Aku menghela napas panjang beberapa kali. Kemudian angin semilir menyeruak masuk melalui jendela yang terbuka, membelai rambut panjangku yang kubiarkan tergerai begitu saja. Aku menoleh pada ponselku yang kini telah menjadi teman dua ekor ikan mas koki di dalam aquarium. Aku menghela napas lagi. Sudah sebulan aku tak menghubungi Sasuke. Apa dia juga tak pernah menghubungiku? Ah, bagaimana dia mau menghubungiku kalau ponselku kini jadi hiasan aquarium? Tapi bukan berarti aku belum membeli ponsel baru. Dan bukan berarti tak ada yang tahu bahwa aku sedang mengasingkan diri ke Otto. Ada yang tahu, dia Shikamaru. Aku menghubunginya seminggu setelah aku pergi ke kota ini. Tapi aku memintanya untuk merahasiakan hal ini dari Sasuke. Lagi pula, aku menghubungi Shikamaru hanya utuk bertanya dimana tempat praktik ayahnya yang seorang psikiater itu. bukan untuk menanyakan Sasuke. Boleh jadi, aku ingin berusaha melupakanya.
             “12.34, biasanya kau selalu memandangi dia’kan, Sasuke..?” tanyaku pada udara. Sunyi. Tak ada jawaban. Aku menghela napas lagi. Sudah sebulan aku terus seperti ini. Diam di kamar, dan melamun saja. Aku merindukannya. Sasuke-ku, apa kabarnya sekarang? Apa dia, baik-baik saja? Apakah dia, sudah jadi milik orang lain sekarang? Pria pirang itu, dia juga tertarik pada Sasuke-ku. Dia selalu memandang Sasuke dengan penuh kasih saat Sasuke lengah. Dia selalu bersikap biasa saat tahu Sasuke memandangnya. Pria itu, apa maunya? Apa dia sudah mengambil Sasuke dariku sekarang? Ohhh.. aku ini lelaki sempurna yang tak beruntung.
      Aku berdiri, kuraih baju hangatku dan aku pun pergi meninggalkan rumah. Aku berjalan santai menyusuri trotoar. Kedua tanganku kumasukan ke dalam saku celana. Setidaknya,Aku harus tetap terlihat keren.
             “Hyuuga..” ah, sepertinya ada yang memanggil namaku. Aku berbalik dan menemukan seseorang yang aku kenal. Rambut merah dan tatto ‘Ai’ itu pasti Gaara.
             “Ah, ternyata benar itu kau.aku pikir siapa.” Ujarnya lagi lalu berjalan ke arahku, tidak, tepatnya berjalan meninggalkanku. Tapi belum dua meter ia berjalan, ia berbalik kembali.
             “Kau mau jalan-jalan denganku..?” tanyanya lalu tersenyum.
.oOo.
             “Aku pikir coklat di tempat itu selalu yang paling enak.. Bagaimana kalau kita ke sana?” ujar Gaara sembari berpikir. Wajahnya sangat lucu kalau seperti itu. aku tersenyum simpul.
             “Kita sudah makan berbagai jenis makanan, Gaara. Aku sudah kenyang.” Jawabku. Kulihat Gaara merengut, tapi matanya menatap tajam. Aku terkekeh dengan wajah lucunya.
             “Baiklah.. ah!” Gaara lagsung berlalu menuju penjual cotton candy di pinggir trotoar dan membeli beberapa bungkus.
             “Tubuhmu kecil, tapi kau banyak makan, Gaara. Apalagi yang kau makan dari tadi hanya makanan manis. Kau tidak takut terkena diabetes?” ujuarku padanya yang sudah kembali ke hadapanku lagi.
             “Sampai matipun, aku tidak akan terkena yang namanya di-a-be-tes. Aku memiliki kelainan. Aku selalu kekurangan gula darah. Jadi aku selalu makan makanan mengandung gula setiap saat.” Ujarnya yang sudah mulai menikmati cotton candynya. Aku menghela napas dan ber’oh’ ria.
             “Hmm. Neji..”
             “Ya.”
             “Kau tidak bekerja?”
             “aku tidak punya kerjaan di sini.”
             “Bukan di sini, tapi di Konoha.”
      Aku terdiam mendengar pertanyaan itu. Dia mengingatkanku pada Sasuke.
             “Aku sedang libur..” jawabku sekenanya.
             “Bukan karena si raven cikken butt itu?” pertanyaan Gaara semakin membuatku terdiam.
             “Kau, senyumanmu padanya selalu penuh dengan rasa sayang. Aku hanyamenebak, kau berantem dengannya dan kabur ke sini.” Ujarnya dengan tanpa beban. “Kau, kau selalu melayani aku dan Naruto di cafe itu agar Sasuke juga bisa melihatmu’kan? Ck. Modus.” Sambungnya. Aku berhenti dan terdiam. Aku berpikir, bagaimana dia bisa tahu?
             “Kau melakukannya walau si buntut ayam itu hanya memandang Naruto seorang. Hm. Apa kau benar-benar menyukainya?” ujar Gaara lagi. Lalu berhenti setelah beberapa langkah. Ternyata dia sadar aku berhenti berjalan. Kulihat dia tersenyum kecut. “Aku juga mengalami hal yang sama.” Ucapnya kemudian. Aku tersentak.
             “Naruto, melakukanya padamu?” tanyaku dengan hati-hati. Gaara menggeleng pasti.
             “Tidak. Bukan dia, aku menyukai orang lain.” Jawabnya.
             “Siapa?”
             “Kau..”
      Aku tersentak. Tiba-tiba ia terkekeh. Apa wajahku sangat lucu?
             “Aku hanya bercanda. Aku menyukai orang lain.” Ujarnya dengan senyum mengejek. Ia memandang ke arah sebuah cafe. “Kau lihat, dia yang di sana itu. Dialah orang yang aku sukai.” Sambungnya. Aku mencoba ikut memandang ke arah yang dituju Gaara. Seorang pria berambut ebony dan berkilit pucat sedang duduk berhadapan dengan seorang wanita berambut pink yang sedang menggendong balita. Mereka terlihat bahagia. Aku memandang kembali pada Gaara. Ekspresinya datar. Ekspresi yang biasa dia tunjukkan padaku saat di Konoha dulu.
             “Sayangnya.. Dia sudah beristri dan mempunyai seorang anak laki-laki.” Ujarnya lalu tersenyum palsu. Ia berjalan lagi dan aku mengikutinya.
             “Aku kira, kau menyukai Naruto.” Ucapku setelah kami terdiam cukup lama. Kulihat Gaara menggeleng.
             “Aku hanya membutuhkan sentuhannya. Bukan berarti aku menyukainya.” Ujarnya yang sukses membuatku terkejut.
             “Kau..?”
             “Bagaimanapun.. Naruto juga menyukai orang lain. Aku.. tidak pernah punya kesempatan untuk memilikinya seutuhnya. Tubuh maupun cintanya. Karena itu, aku memintanya untuk menjadi pemuas napsuku saja. Aku tahu dia kasihan padaku, makanya dia bersedia saja. Heheheh.. aku orang yang tak bisa ditahan.” Ucapan Gaara membuatku terdiam. Aku tidak bisa berpikir sekarang. Otak jeniusku berhenti berfungsi maksimal.
             “Neji..?” aku dengar Gaara memanggil. Ia menatapku penuh arti.
             “Ya..” jawabku sekenanya.
             “Aku harus pergi. Sebentar lagi Naruto mungkin akan mejemputku. Aku harus kembali ke kampus.” Ujarnya lagi.
             “Aku kira dia masih di Konoha..” kataku tak percaya dengan apa yang dikatakan Gaara.
             “Di Konoha apa? Kami sudah sebulan di sini. Bye..” Gaara pergi sembari melambaikan tangannya padaku walau ia tak berbalik.
      Aku masih terdiam di tempatku berdiri. Jadi, entah aku maupun Naruto sudah sebulan tak bertemu Sasuke? Lalu bagaimana keadaan Sasuke sekarang? Aku merogoh kantong celanaku dan mengambil ponselku. Belum sempat aku melakukan sesuatu, tiba-tba ponselku berdering. Nama Shikamaru tertera di kolom pemanggil. Tidak biasanya dia menghubungiku.
             “Halo..” ucapku setelah menekan tombol jawab.
             “Madoukusai, pulanglah ke Konoha. Sasuke mencarimu...” terdengar suara malasnya.
             “Aku masih betah di sini.”
             “Ya, ya.. bahkan bila Sasuke mati bunuh diri?”
      Aku tersentak. Pikiran macam-macam menyeruak di kepalaku.
             “Apa maksudmu?!”
             “Hm. Biar kukatakan padamu, Sasuke tampak seperti orang gila semenjak kau pergi.”
      Sekilas aku tersenyum karena mingkin Sasuke merindukanku, tapi pikiran itu segera hilang saat aku mengingat Naruto.
             “Memangnya kau yakin itu karena aku? Bukan karena pria pirang yang selalu diperhatikannya itu tak datang ke cafe sebulan ini?”
             “Kalau iya, Sasuke tak akan mengigau menyebut namamu sekarang ini. Medoukusai, aku berada di ambulance sekarang, menemani Sasuke ke rumah sakit. Sora menemukan Sasuke tergeletak tak sadarkan diri di kamarnya. Dan sekarang, dia terus menyebut namamu tanpa henti. Neji, kalau terjadi sesuatu dan kau menyesal, jangan salahkan aku. Aku sudah memperingatkanmu. Datanglah sebelum pria pirang itu. Atau kau akan kehilangan Sasuke.”
Tut tut tut. Teleponpun ditutup.
.oOo.
             “Keluarga tuan Sasuke..” seorang dokter muda baru saja keluar dari UGD. Itachi langsung menghambur padanya.
             “Bagaimana keadaan Sasuke, Dok?” tanya Itachi dengan antusias.
             “Keadaanya baik-baik saja. Ia hanya kelelahan dan sedikit stres. Oh, ya, untuk yang bernama ‘Neji’, akan lebih baik kalau dia bisa menemani tuan Sasuke sekarang ini.” Ujar dokter muda itu lagi. Itachi terdiam.
           “Mahluk yang bernama Neji itu belum kembali ke Konnoha.” Ujar Shikamaru dengan entengnya kemudian menguap. Ia yang sedang duduk di kursi tunggu tampak tenang-tenang saja. Garis matanya melengkung ke bawah seperti orang mengantuk. Che, ia hanya malas melakukan hal tidak menarik begini. Menunggu hanya membuatnya mengantuk.
             “Kalau begitu saya permisi dulu” dokter muda itu pun berlalu. Itachi menghampiri Shikamaru.
             “Apa kau sudah menghubunginya, Shika?” tanya Itachi.
             “Medoukusai, kalau dia perduli, dia akan datang secepatnya.”
.oOo.
Naruto pov
      Malam telah tiba saat aku dan Gaara baru saja tiba di bandara Internasional Konoha. Malam itu kami langsung beristirahat sesampainya di apartemenku yang sederhana. Gaara tampak merebahkan diri di kasur. Sepertinya ia sangat lelah. Terbukti karena terdengar dengkuran halus darinya. Ck, dia sudah tidur. Aku pun ikut merebahkan diri di sampingnya, menyelimutinya hingga sebatas leher, dan itu membuatnya menggeliat manja. Sungguh imut mahluk ini, pikirku.
      Aku memandang langit-langit kamarku. Tak memikirkan kalau aku harus membongkar barang-barangku yang masih tergeletak di depan pintu.
             “Ahhhh, masa bodoh. Aku akan membereskanya besok. Sekarang aku hanya ingin tidur. Lalu besok, aku akan menemui Sasuke. Ah, aku sangat merindukannya.” Ucapku lirih sembari menyamankan diri di kasur. Dan entah kapan aku tertidur aku tidak ingat.
.oOo.
real pov
      Shikamaru baru saja keluar dari cafe siang itu saat Naruto memarkirkan mobilnya di depan cafe. Pria pirang itu tersenyum pada Shikamaru saat turun dari mobil bercat orange cerah itu.
             “Yo, apa cafenya sudah tutup? Ah, aku hanya ingin bertanya, di mana Sasuke?” ujar Naruto. Shikamaru mendengus tidak suka.
             “Medoukusai.  Aku idak tahu, pergilah.” Shikamaru beranjak tapi Naruto mencegatnya.
             “Kau temannya, mana mungkin tidak tahu.”
.oOo.
      Angin semilir membelai lembut wajahnya, menggoyangkan pelan rambut ravennya yang tampak kusut. Sasuke, sedang duduk di sebuah bangku taman. Tak ada yang memayunginya, tapi matahari juga rasanya enggan tampak. Awan hitam menggulung di langit. Tak ada sinar menyengat yang menyapa kulit pucat Sasuke. Pemuda itu hanya diam, sesekali mendongak menatap awan hitam dan menghela napas lelah. Ya, lelah. Entah kenapa Sasuke merasa lelah dalam hidupnya. Lelah sekali saat ini. Ia putus asa. Pemuda yang kini terlihat pucat itu menghela napas lagi.
             “Sendirian, heh? Sasuke..” sebuah suara mengagetkannya. Sasuke menoleh ke sumber suara. Ia melihat Naruto di sana, tersenyum dan berjalan ke arahnya. Pemuda pirang itu duduk di samping Sasuke. Tangan tannya menyodorkan cup yogurt beku yang diterima Sasuke perlahan.
             “Thanks..” ucap Sasuke pelan. Naruto tersenyum.
             “Sebulan tak bertemu, kau tampak kurus. Malahan, kau berada di rumah sakit. Apa yang terjadi?” tanya Naruto basa-basi sembari membuka cup yogurt meliknya sendiri dan mulai memakannya dengan sendok kecil. Ia tampak tak memperhatikan Sasuke yang masih tak berkedip menatapnya.
             “Nii-chan..?” panggil Sasuke pelan. Naruto tampak sedikit tersentak.
             “Apa? Kau panggil apa aku tadi?” Naruto menanyakanya dengan sedikit terkekeh. Terasa lucu baginya mendengar Sasuke memanggilnya dengan sebutan itu.
             “Dobe..” sebut Sasuke sebal.
             “Heh, apa-apaan itu?” Naruto memberantakkan rambut raven Sasuke. Terasa kusut di tangannya. Tapi dia diam saja tak berkomentar soal itu. Sasuke menampik tangan Naruto. Ia kemudian menghela napas dan memandang langit. Kilat matanya berawan, murung dan tampak bingung. Naruto diam saja membiarkan Sasuke menatap langit, membiarkan Sasuke mengambil waktu sejenak.
             “Naruto-nii..?” panggil Sasuke akhirnya.
             “Ya,” ucap Naruto dengan seksama. Sasuke terdiam sejenak. Ia terdengar menghela napas.
             “Aku menyukaimu.-”
             “Sasuke!”
      Sasuke hampir terlonjak karena kaget. Ia kenal betul suara siapa yang menyebutkan namanya itu. Sasuke dengan cepat berbalik. Senyum tersungging di bibir pucatnya saat yang dilihatnya adalah orang yang sangat dirindukannya.
             “Neji..” ucapnya lirih. Neji menunduk dan menggeleng. Kedua tangannya mengepal erat di kedua sisi tubuhnya. Neji mendongak.  Ia menatap tajam pada Sasuke.
             “Mungkin.. Memang salah keputusanku untuk pulang, ya, Sasuke? Kau memang menyukai orang lain..” ujar Neji dengan suara berat. Dadanya naik turun menahan emosi. Sasuke menggeleng. Ia berjalan menuju Neji, tapi Naruto menahan lengannya. Melihat hal itu Neji semakin tak bisa menahan emosinya. Ia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Naruto dan Sasuke.
             “Ne-Neji..!!” Sasuke berusaha mengejar Neji, tapi Naruto menahan lengannya.
             “Selesaikan dulu kalimatmu, Sasuke..” pinta Naruto. Hatinya sedari tadi tak tenang saat mendengar kalimat Sasuke yang tertahan.
             “Aku menyukaimu saat berbicara dengan Aniki, kau membuatnya bisa tersenyum dengan tulus pada orang lain. Aku menyukaimu saat bersama Gaara. Kau membuatku ingin melihat Neji melakukanya padaku. Aku menyukaimu karena kau datang ke cafeku dan membiarkanku melihat warna kesukaanku di matamu. Hanya itu saja.” Ujar Sasuke yang masih berusaha melepaskan cengkraman Naruto dari lengannya. Naruto menatapnya bingung.
             “Jadi, kau tak menyukaiku untuk hal yang lebih?” tanya Naruto tidak percaya.
             “Tidak! Aku hanya mencintai Neji!!” teriak Sasuke dengan satu sentakan yang membuatnya lepas dari Naruto. Tanpa buang waktu lagi, Sasuke langsung berlari meninggalkan Naruto yang sukses ia buat terdiam dengan tatapan sulit dimengerti.
.oOo.
             “Bodoh bodoh, sialan!” rutuk Neji di setiap langkahnya meninggalkan rumah sakit itu. Ia menuju mobilnya yang ia parkir di parkiran sebrang jalan. Tangannya mengeluarkan kunci mobilnya dari saku jaketnya.
             “NEJIII!!!!” sebuah teriakan membuatnya terdiam. Neji berbalik dan mendapati Sasuke di sebrang sana, di depan pintu gerbang rumah sakit. Di kejauhan sana Neji melihat Naruto yang sedang berlari ke arah Sasuke. Neji berbalik kembali hendak membuka pintu mobilnya.
             “NEJIII!!!” teriakan Sasuke menghentikan Neji. Tapi Neji tak hendak berbalik.
             “Neji! Berbalik dan tatap aku!!” teriak Sasuke. Tapi Neji tetap kukuh tak mau berbalik. Ia membuka pintu mobilnya,
             “Neji! Kalau kau tak berbalik, mungkin kau tidak bisa melihatku lagi..” ucapan Sasuke yang terdengar semakin lirih membuat Neji dengan cepat berbalik ke arah Sasuke. Bagaimana pun ia masih ingat Sasuke berada di mana. Dan benar saja, Sasuke berdiri di tengah jalan. Menatap ke arah Neji sembari tersenyum, kedua tangannya terulur ke arah Neji seperti meminta Neji untuk menjemputnya.
             “BODOH! Apa yang kau lakukan di sana!!” teriak Neji saat ekor matanya menagkap sebuah mobil yang melaju cepat di jalan itu. Neji tak punya waktu untuk berpikir, ia langsung berlari ke arah Sasuke. Selamatkan Sasuke, hanya itu saja yang terpikir di kepalanya.
CCKKIIIIITTT!! BRRAAGGKK!!!
      Semua terjadi dengan cepat seperti mimpi, tidak jelas dan berputar-putar. Tapi satu yang dapat ditangkap mata Neji yang kembali terfokus. Dilihatnya tubuh Naruto tergeletak di jalan aspal, pria pirang itu tergeletak begitu saja dengan darah yang perlahan-lahan menggenang di sekitarnya. Beberapa orang berlarian ke arah mereka. Neji juga bisa menemukan Sasuke tak sadarkan diri di pelukannya. Sekarang sudah saatnya Neji yang tersadar dari tertegunnya. Ia menatap kearah Naruto, satu tarikan napas,
             “NA-NAARRUUTTOOOO...!!!!”
.oOo.
      Horden putih yang tergantung di jendela yang terbuka itu menari tertiup angin. Terdengar kikikan seseorang. Kamar Neji tampak lebih ramai dengan suara itu. Neji sendiri tersenyum di depan sebuah laptop. Rambut panjangnya yang tergerai sesekali tergoyang dibelai angin.
             “Neji, jangan memandangku sarkatis begitu!” terdengar sunggutan suara Gaara. Ternyata Neji sedang berbicara dengan Gaara melalui internet. Wajah Gaara yang tertera di monitor laptop Neji memang pantas untuk diketawakan. Bagaimana tidak, saat ini Gaara sedang tersipu malu, guratan merah terlihat jelas di pipi putihnya. Menambah kesan imut seorang uke yang kekanakan.
             “Hihihihi, aku senang Neji. Saat ini aku sedang bahagia.” Kata Gaara. Wajahnya tampak begitu ceria.
             “Jadi, akhirnya di mau memandangmu?” tanya Neji. Gaara hanya mengangguk dengan semangat. Tiba-tiba ia menutup setengah wajahnya.
             “Aku maluuu!!” teriaknya lalu menghilang dari monitor. Tapi kikikan Gaara masih bisa di dengar Neji. Neji terkekeh dengan sikap Gaara.
             “Jadi, wanita itu..?” tanya Neji tergantung. Gaara muncul lagi dengan cepat.
             “Hihihihi, wanita itu dan anak itu ternyata bukan anak dan istrinya. Ternyata wanita itu adalah kakak iparnya Sai, dan anak itu adalah keponakanya. Kasihan mereka, kakaknya Sai meninggal tiga bulan lalu karena kecelakaan mobil.” Kini Gaara memasang ekspresi sedih setelah menyelesaikan kalimatnya. Tak disangka-sangka, Gaara masih sempatnya menyuap sesendok besar cake dan melahapnya begitu saja. Pipinya yang menggembung terlihat lucu. Neji pun tak bisa menahan geli, ia tertawa lepas sembari memegangi perutnya.
             “Nggghhh...” suara erangan malas muncul saat Neji jatuh kebelakang, menimpa seseorang yang masih tergolek malas di bawah selimut. Neji menarik selimutnya, tapi ditahan Sasuke yang menggeliat manja dan menarik kembali selimut itu untuk menutupi badannya.
             “Bangunlah, pangeran tidur..” ujar Neji sembari membelai kepala Sasuke.
             “Cacuke...” terdengar suara Gaara memanggil dengan tidak jelas. Mulutnya yang masih penuh dengan cake membuat Neji kembali tertawa lepas. Bahkan sampai terguling-guling di ranjang itu. Merasa terganggu, Sasuke membuka selimutnya dengan kesal. Lebih kesal lagi saat melihat Gaara dengan wajah konyol dan Neji yang tertawa tergulig-guling.
             “YAAAA....!!!! KALIAN SELINGKUH PAGI-PAGI DI DEPANKUUUU!!!!”
.oOo.
      Harum tanah pemakaman yang semalam terguyur hujan menyentuh hidung di kala angin semilir melewati tempat itu. Di sana dari sekian gundukan makam yang tak terhitung, ada satu yang masih baru.  Tanahnya masih merah, taburan bermacam bunga di atasnya bahkan belum layu. Di sana, di dekat makam baru itu, sosok Itachi tampak khusuk memanjatkan do’a. Matanya terpejam dengan kedua telapak tangan mengantup di depan wajahnya yang sedikit menunduk. Saat selesai, Itachi tersenyum tulus. Mata onyxnya menatap nisan bertuliskan,
~ Uzumaki Naruto~
~Lahir                   :  -  -  -  ~
~Wafat    :  -  -  -  ~
      “Semua berakhir baik, Naruto. Apa ini juga akhir yang baik untukmu?”


                                                                                                                                                                                ...(..o..TAMAT..o..)...

Penulis: Shiryu Ayres

1 komentar:

hamahlobuchowski mengatakan...

Casino Games for the Caribbean and New Zealand - GooyangFC
Gooyang 스코어 사이트 is a casino in the Caribbean. Enjoy a variety of video slots, video poker and 점심 메뉴 룰렛 live 피망포커현금화 casino action. Learn 실시간 스포츠 배팅 how to play the games you 토토 사이트 도메인 love.

Bisnis Online